Another (Real) Story of Me

Ok, halo, ketemu lagi sama saya, kagak bosen kan yah? Harusnya kagak sih berhubung akhir-akhir ini saya agak jarang nulis artikel buat blog.

Ehm, sebelum mulai, saya pengen bilang kalo tulisan ini sih awalnya bukan karena saya pengen ikutan lombanya, ini lebih ke memenuhi janji saya pada Novia Setiani (surely, I haven’t meet with her yet but it is okay), lalu Zenius ngadain event ini so, kenapa enggak saya ikutin juga ke lombanya? Hehehhe (mungkin kamu tertarik untuk baca tulisan saya di awal tahun 2015, dengan itu saya pikir kamu akan lebih mudah mengerti tulisan saya yang ini).

Yak, saya cukupkan mukadimahnya, let’s begin….

A Word For This Year

Jika ada kata-kata yang paling pas menurut saya untuk tahun ini sepertinya adalah ‘nano-nano’ alias macem-macem. Oke, kenapa begitu? Jelas karena banyak kejadian yang udah bikin saya sedih, senang, gusar, kecewa, bahagia, sukacita, dan lain sebagainya. Satu tulisan jelas tidak bisa untuk merangkum semua kejadian yang saya alami selama satu tahun, tapi saya akan berusaha biar enak buat kamu baca kok, kalem aja.

Jadi, gini awal tahun 2015 dalam hidup saya memiliki arti bahwa sudah setengah tahun saya menjalani kehidupan sebagai ‘pertapa’. Ya, saya lulus dari SMA tahun 2014 gagal masuk perguruan tinggi di tahun yang sama, lalu saya memutuskan untuk nunda setahun dan ngulang ujian di 2015, saya dan ketiga teman sekelas saya. Sebenarnya, setelah saya gagal di SNMPTN 2014 dan di SBMPTN 2014, saya memilih untuk tidak mengambil jenis tes apapun, baik itu ujian ke PTK (dengan ikatan dinas dan sebagainya) maupun UM dari PT manapun, pokoknya benar-benar idealislah saya itu, waktu itu ya.

Enam bulan pertama (Juli 2014-Desember 2014) masa pertapaan saya terasa lamaa….. sekali, waktu itu saya fokusin belajar TPA dan Matematika Dasar, barulah saat mulai Januari 2015 saya belajar materi Saintek dan sesekali belajar materi Soshum. Jujur, enam bulan pertama mungkin adalah saat-saat terberat dalam masa pertapaan itu. Kamu bakal denger (mau gak mau) temen-temen seangkatanmu/sekelasmu pada ribut di grup sosial media ngomongin Ospek dengan segala keriuhannya, ngomongin gimana rasanya jadi anak kuliahan, rasanya UTS dan UAS di kehidupan kuliah, ikutan UKM, dan lain-lain. Nah, saat awal tahun minggu pertama atau kedua, biasanya kan pada liburan tuh, saat gathering bareng salah satu topik yang pasti muncul adalah IP-S. Jelas, hal-hal kayak gitu bakal bikin kamu sedikit-banyak terluka. I knew it, tapi itu nggak seberapa dibanding dengan kenyataan bahwa mereka (temen-temen yang udah pada kuliah) enggak salah sama sekali dan adalah hak mereka untuk ngomongin hal-hal seputaran kuliah di grup sosial media.

Well, kalau saya sih milih tetep enggak left group sih, meski aktivitasku di grup kelas SMA emang berkurang (malah nyampe sekarang kalo nggak penting-penting amat biasanya saya diem aja). Kalo kamu emang lagi nunda setahun juga dan milih buat keluar dari grup sosial media kamu ya silakan saja, it is up to you.

Lalu….Januari 2015 pun tiba, saat temen-temen saya pada pulang ke Sukabumi (my hometown), mereka ngajakin buat gathering di salah satu rumah teman di daerah Naggeleng. Harus saya akui saya kangen mereka juga, meski saya tahu, akan ada kemungkinan topik soal kehidupan perkuliahan itu muncul di obrolan kami waktu itu, tapi saya pikir ya sudahlah, let’s go along with it. Saat saya tiba rumah teman saya tersebut, beberapa teman sekelas saya sudah datang, memang, sampai saya pulang pun hanya sesekali topik perkuliahan itu muncul. Ini yang membuat saya sangat menghargai mereka, melalui tulisan ini, izinkan saya sampaikan ucapan terima kasih saya pada kalian, Keluarga ACTION. Kalian telah berusaha menenggang perasaan kami (saya dan teman-teman saya yang belum kuliah yang waktu itu juga datang), saya menghormati itu, meski kita jarang bertatap muka, tapi kita akan selalu merasa bersama.

Keluarga ACTION
Harapan dan doa dari saya untuk kalian, selalu.

Oh,ya, buat kamu yang baca tulisan ini dan sedang nunggu juga, jika orang-orang yang kamu kira saat ini adalah teman kamu tapi setelah mereka tahu keadaan kamu saat ini lantas mereka menjauhi atau mengabaikan kamu, saya rasa kamu mesti pikir-pikir lagi deh buat spending your valuable time with them, cause I don’t think they deserve it. Lagian, saya pikir bener juga apa yang dulu pernah dibilangin Sabda dulu.

Nah, lanjut dah, kehidupan saya terus bergulir, enam bulan pertama di tahun 2015 terasa sebentar, banyak TO yang dijalani dan evaluasi mandiri lainnya. Mulai bulan Mei, the real battle dimulai. Pada bulan Mei 2015 juga saya ikut ujian masuk STIS di Bandung (bagi kalian yang juga ikut saya ucapkan salam sekarang, hehehehe). Alhamdulillah lolos tahap pertama tapi gagal di tahap kedua. Mungkin waktu itu salah saya juga sih karena nazar (janji) saya waktu itu kira-kira bunyinya seperti ini, “Ya Allah, hamba mohon untuk lolos tes STIS ini, setidaknya tahap satu saja, kalau saya lolos tahap satu hamba akan….,”. Dan memang benar Allah mengabulkan doa saya, saya lolos kok, lolos tahap pertama, dan tentu saya juga lakukan nazar saya. Jadi, bagi kamu yang sekarang mau ujian apapun, saya sarankan kalau berdoa jangan tanggung-tanggung, dan jangan lupa usaha yang maksimal ya. Bagi kamu yang muslim kalau mau ya nazarlah kalian, bisa buat jadi motivasi tambahan juga kan?

Ini nomor tempat duduk saya, waktu itu saya dan sekitar seribu orang lain ujiannya di GOR Basket. Saya kebagian di tribun, pulang-pulang ujian saya sakit leher.
Ini nomor tempat duduk saya, waktu itu saya dan sekitar seribu orang lain ujiannya di GOR Basket. Saya kebagian di tribun, pulang-pulang ujian saya sakit leher.
Lokasinya di Gedung BPS Provinsi, di Bandung. Ruangannya enak kok. Tuh, sepatu saya ikut nampang.
Lokasinya di Gedung BPS Provinsi, di Bandung. Ruangannya enak kok. Tuh, sepatu saya ikut nampang.

Lalu lanjut ke bulan Juni 2015, akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba juga, setelah sehari sebelumnya (Senin, 8 Juni 2015) saya cek lokasi ujian (setelah nyasar-nyasar gegara lokasinya ada di kota sebelah), esoknya (Selasa, 9 Juni 2015) setelah shalat Subuh dan mohon doa dari orang tua, berangkatlah saya ke tujuan, memacu motor pinjaman yang saya pakai dari Kota Sukabumi untuk menyalip entah berapa truk, bis, mobil pribadi, angkot, dan motor lain agar terhindar dari macetnya jalan karena banyaknya karyawan dari pabrik yang berjajar dari Kabupaten Sukabumi (bagian timur) sampai Cianjur yang berangkat/pulang kerja, selain itu jalan yang saya gunakan juga jadi jalur transportasi manusia maupun komoditas barang (bahan bangunan dan lain-lain) dari arah Bandung menuju Bogor/Depok/Jakarta. Alhamdulillah, setelah sekitar 40 menit perjalanan, saya tiba di lokasi ujian sekitar pukul 6 pagi. Saya sempatkan untuk keliling-keliling gedung sekolahan yang jadi lokasi ujian saat itu untuk sekadar menghangatkan tubuh dan mencari-cari adik-adik kelas saya yang saya kenal.

Satu jam kemudian saya sudah siap di ruangan bersama sekitar dua puluh-an orang lain (saya lupa persisnya berapa orang) termasuk pengawas ujian. Beberapa penjelasan dari pengawas ujian, lalu kertas soal pun dibagikan. Well, saya kira tak perlulah saya ceritakan bagaimana saya menjawab soal-soal tersebut. Singkatnya, saya kerjakan sebaik-baiknya saja soal tersebut. Nah, selesai ujian saya akhirnya makan siang, kalau tidak salah saya makan siomay waktu itu (perlu banget ya disebutin, hahahaha!), lalu pulanglah saya, masih dengan motor pinjaman ke rumah, agak santai kali ini, karena saya tidak diburu-buru seperti saat berangkat tadi pagi.

Ga ada caption apa-apa.
Ga ada caption apa-apa.

Utul UGM dan Simak UI

Ada yang berbeda di tahun 2015 ini, setelah sebelumnya saya ikut ujian masuk STIS, saya juga memilih ikut UM, tepatnya Utul UGM. Tahun 2015 ini lagi-lagi UM yang diadakan UGM (Utul) dan UI (Simak) diadakan pada hari yang sama, yaitu 14 Juni 2015. Entah ada apa ini antara UGM dan UI, tapi yah saya kira itu hak prerogratif masing-masing PT kan? Jadi, buat kamu yang berencana untuk ikut UM di UI atau di UGM, mending kamu rencanain dari sekarang buat milih yang mana, karena sepertinya tahun 2016 juga seperti itu (sabar ya, saya tahu itu memang pilihan yang cukup sulit, *puk..puk..puk).

Nah, kembali pada kisah saya ya? Setelah pulang ujian SBMPTN, esoknya saya langsung berangkat ke Tasikmalaya, kota tempat kakak sulung saya tinggal, karena rencananya saya akan berangkat ke Yogyakarta (saya mengambil lokasi ujian tulis di Yogya) dengan kereta dan tidak adanya kereta langsung dari Kota Sukabumi ke Yogyakarta. Kegiatan saya selama di rumah kakak saya itu ya hanya ke stasiun untuk pesan tiket, main-main dengan keponakan-keponakan saya, atau antar-jemput kakak saya ke kampus beliau mengajar, yaitu UPI Kampus Tasikmalaya.

Sabtu pagi, 13 Juni 2015, saya sudah siap sedia di Stasiun Tasikmalaya dengan adiknya ipar saya, Kang Rizky (beliau ini yang nganter-nganter saya kemana-mana selama awal-awal waktu saya di Yogya), menunggu kereta Pasundan kepunyaan PT KAI (tak apa-apalah saya promosi sedikit, toh itu kendaraan transportasi publik milik negara alih-alih rakyat). Saya naik di kereta kelas ekonomi, yah jujur saja, meski ekonomi tapi nyaman kok, keretanya bersih, ada AC-nya, mulai dari peron sampai kabin kereta, semuanya tertib, dan yang paling penting tidak ngaret. Serius. Tidak ngaret, yah mulur satu atau dua menit saya kira masih dalam batas kewajaran. Sampe-sampe sekarang aja saya masih nyimpen potongan tiketnya (atas nama kenangan tentunya, agak melankolis juga ya saya? Hehehe 😀 ).

 Oh,ya, di kereta, penumpang yang duduk di depan kami (saya dan Kang Rizky) ternyata juga akan mengikuti Utul! What a coincidence! Lalu saya sadar, sepertinya separuh dari gerbong yang saya tempati sepertinya akan mengikuti Utul juga. Kira-kira pukul 14.15, kereta tiba di Stasiun Lempuyangan (fyi, kalau kamu naik kereta kelas bisnis atau eksekutif, kamu akan turun di Stasiun Tugu). Setelah turun dari kereta, kami makan, well, tepatnya hanya Kang Rizky yang makan karena saya masih kenyang karena makan bekal saat di kereta. Sambil menunggu teman Kang Rizky datang untuk membawakan motor Kang Rizky ke stasiun. Sorenya, kami pergi mencari lokasi ruangan tempat saya ujian. Setelah berkeliling beberapa kali, akhirnya ketemu juga.

Esoknya, setelah makan nasi goreng di burjo (semacam warung makan, tapi rata-rata penjualnya itu dari Kuningan atau etnis Sunda, kalau kamu kuliah di UGM, kamu pasti akan senang nonton sepak bola atau pertandingan Moto GP ataupun balap F1 rame-rame di sini), saya diantar Kang Rizky ke tempat ujian dengan janji akan dijemput setelah selesai.

Saya memilih Utul tipe campuran, jadi saya ujian sampai sore, nah setelah ujian kami shalat dan makan dulu. Saat kami pergi ke tempat agen bis (kami tidak kebagian tiket pulang ke Tasikmalaya jadi terpaksa kami naik bis), sayangnya bisnya sudah penuh semenjak dari Terminal Giwangan, jadi yah terpaksa kami menunggu sampai besok. Untungnya esok hari kami akhirnya mendapat tempat juga di bis jurusan  Yogya – Tasik.

Juni berakhir dan bulan Juli pun menjelang beriringan dengan bulan Ramadhan. Awalnya, pengumuman Utul lebih cepat daripada pengumuman hasil SBMPTN 2015, namun entah mengapa, pengumuman Utul justru diundur menjadi tanggal 15 Juli 2015, beberapa hari setelah pengumuman hasil SBMPTN. Lalu pada 9 Juli 2015, sore itu, saya tercenung menatap layar notebook saya. Ya, saya gagal, lagi. Sedihkah saya? Saya kira tidak. Serius. Saya tidak tahu apakah kamu percaya atau tidak tapi saya sama sekali tidak merasa sedih saat itu juga sesudahnya. Saya hanya merasa… lelah. Saya capek. Saat saya memeberi tahu keluarga dan kawan-kawan saya, mereka terkejut sambil terus mendukung saya tentunya. Malamnya saya menanyakan kabar dari teman-teman saya yang juga ikut SBMPTN 2015, dan semuanya TIDAK ADA yang lulus.

Saat saya membuka pengumuman hasil Utul UGM pada tanggal 15 Juli, Alhamdulillah saya diterima di prodi Kimia. Senang, bisa dibilang begitu, tapi lebih tepatnya saya merasa lega saja. Allah berkenan memberikan kesempatan pada saya untuk belajar di UGM. Lambat laun saya mengerti, mungkin hikmahnya kenapa tidak ada dari kami yang waktu itu ikut SBMPTN tetap tidak lulus juga karena jika salah satu dari kami ada yang lulus, jujur saya sendiri tidak yakin untuk bagaimana sakitnya hati yang tidak lulus. Itu bisa saja hanya bentuk penghiburan diri yang saya lakukan, namun saya hanya berprasangka baik saja bahwa hasil SBMPTN kemarin adalah pilihan terbaik dari Tuhan untuk kami. Toh, saat ini, kami (saya dan teman-teman saya yang sama-sama mengulang) sudah kuliah di tempat masing-masing, saya di UGM, ada juga yang di Unpar Bandung, ITS, dan lain-lain. Kami semua lulus melalui UM. Sampai-sampai salah satu kawan baik saya berkelakar, “Kalian mah rezekinya di UM”, begitu katanya yang tentu saya sambut dengan tawa kecil.

Obstacles cannot crush me, every obstacle yields to stern resolve – Leonardo da Vinci

Prodi Kimia dan Seorang Prasdianto

Seorang ilmuwan harusnya menguji apa yang ia percaya, bukan mencari pembenaran atas apa yang ia percaya. (Manjali dan Cakrabirawa, Ayu Utami)

Jujur, semasa SMA saya bukanlah orang yang suka mata pelajaran Kimia, nilai saya pun cenderung biasa-biasa saja. Lalu, kenapa saya memilih prodi Kimia saat Utul? Ceritanya begini, waktu saya belajar pake Zenius, Bang Pras ngajarin Biokimia dan bilang kalo Kimia adalah jembatan antara Fisika dan Biologi. Nah, disinilah awal  mula ketertarikan saya pada ilmu Kimia.

Kamu tahu nggak bagaimana reaksi guru Kimia SMA saya saat beliau saya beri kabar kalau saya masuk prodi Kimia (murni) di UGM? Beliau berkata, “Masa?!” Saya sih tidak kaget, jelas beliau tidak menyangka saya masuk prodi Kimia karena beliau tahu persis bagaimana perilaku saya apabila beliau mengajar di kelas dulu. Namun, hari itu termasuk salah satu hari yang akan terus saya ingat, mata beliau berkaca-kaca karena saya masuk prodi Kimia. Lalu saya memohon doa pada beliau agar saya dapat kuliah dengan lancar. Saat menjalani kuliah pun, tentu awalnya saya agak kewalahan, mulai dari adaptasi lingkungan hingga adaptasi materi yang diberikan dosen. Jadi, tidak ada alasan khusus kenapa saya masuk prodi Kimia. Bukan karena saya ingin mendapat pekerjaan di bidang pertambangan, farmasi atau apapun. Saya hanya ingin tahu. I’m just curious and I enjoy myself learning.

Kini, di akhir tahun 2015, saya memikirkan lagi perjalanan hidup saya, tentang keputusan-keputusan yang pernah saya ambil. Salah satu yang paling penting adalah keputusan saya untuk bertapa selama satu tahun. Sejujurnya itu bukan keputusan yang saya ambil dengan mudah. Saya pernah mengatakan hal ini pada salah satu artikel di zenius blog yang kurang lebih intinya seperti ini, seandainya kamu sekarang sedang ‘bertapa’ juga seperti yang pernah saya lakukan, bersabarlah, perjuangan ini belumlah selesai, Januari nanti mungkin kamu akan bertemu kawan-kawan seangkatanmu yang sudah kuliah dan saat mereka berbagi cerita, hadapilah dengan bijak. Yakinlah jika mereka benar-benar temanmu, mereka akan berusaha menjaga perasaanmu. Mereka akan tetap menghormatimu dan mendukungmu. Bagi kamu yang saat ini sedang menjalani semester pertamamu (sama seperti saya), saya mohon dengan sangat tolong jaga perasaan teman kalian yang saat ini masih berjuang. Serta untuk kamu yang saat ini akan menghadapi SBMPTN 2016, berjuanglah, bersabarlah, saya berdoa agar kalian mendapatkan hasil yang terbaik.

Lalu, apakah saya menyesal dengan keputusan saya untuk bertapa? Saya kira tidak. Saya justru cenderung mensyukurinya, saya bersyukur pada Allah yang telah meneguhkan hati saya, memberikan keluarga dan kawan-kawan yang pengertian, juga karena telah mengenalkan saya pada Zenius semenjak awal 2014, memberikan guru-guru yang mendukung saya, mengizinkan saya untuk belajar pada tutor-tutor yang  hebat, meski belum pernah sekalipun saya bertemu muka secara langsung dengan mereka (Sabda, Wisnu,  Pras, Bang Glenn, dan lain-lain), dan kesempatan untuk berinteraksi dengan teman-teman di Grup Line Zenius 2015 yang kini sudah menyebar di berbagai PT. Saya punya waktu untuk bepergian, membaca buku-buku bagus, menonton film, memperbaiki kemampuan berbahasa saya, duduk diam ditemani secangkir kopi atau teh di kamar saya dengan jendela terbuka sambil berpikir, bercanda dengan kemenakan-kemenakan saya, dan lain sebagainya. Saya bersyukur saya masih punya kesempatan untuk melakukan hal-hal itu.

Perubahan secara kognitif jelas saya rasakan, namun lebih dari itu, saya belajar untuk jadi lebih sabar, lebih pengertian, lebih rasional, dan terutama lebih bijak dalam menghadapi masalah dan mengambil keputusan, dan saya rasa, Zenius (termasuk orang-orang didalamnya) setidaknya turut andil bagi saya untuk terus memperbaiki kualitas diri. Membuat saya jadi pendukung MU yang baik dan tetap mampu menghormati Liverpool, juga menghormati Steven Gerrard (saya membayangkan jika saya bisa duduk semeja dengan Sabda, saya akan menepuk bahunya seraya berkata, “Gerrard adalah pemain yang hebat, bahkan sampai pertandingan terakhirnya berseragam Liverpool melawan MU, ia tetap hebat. He is a legend, even without a crown of BPL.”)

Well, ada sebaris doa yang terus saya ulang pada diri saya, “Ya Allah, jagalah saya dari kebahagiaan yang melenakan dan dari kesedihan yang menghanyutkan.”  Saya berharap suatu saat nanti, saya punya kesempatan untuk bertemu dengan kamu, di UGM mungkin? Adakah dari kalian yang ingin kuliah di UGM? Saya tunggu ya di Bulaksumur. 😀

Hidup ini sangat murah hati pada orang-orang yang mau mengejar takdir mereka. (The Alchemist, Paulo Coelho)

Terakhir, semoga tulisan ini memberikan manfaat untuk kamu, terima kasih sudah berkenan membaca tulisan saya ini, dan selamat tahun baru.

*PS: Kalo buat rekomendasi buku, saya pikir Bang Glenn udah ngasih daftar yang ciamik banget, jadi yah tidak perlu saya tambah lagi. 🙂

Regards,

Viny Alfiyah

 

5 thoughts on “Another (Real) Story of Me

  1. cerita yang panjang tapi mengesankan ♥ pengalaman hidup yang ngga biasa2 aja itulah yang seru dan bisa jadi motivasi untuk orang lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published.