Candi Borobudur: Sebuah Perjalanan Mencari Kebajikan

Tabik.

 

Kawan, kisah saya kali ini adalah mengenai perjalanan saya mengunjungi situs Candi Borobudur pada 28 Desember 2016 lalu. Setelah mengendarai si kuda besi selama sekitar 1 jam lebih (termasuk macet), saya dan beberapa teman dari beragam jurusan tiba di Balai Konservasi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Saya diajak ke sana oleh pegiat budaya Samantha Aditya dan Erwin Djunaedi. Keduanya saya kenal baik semenjak saya mulai belajar di UGM. Namun, rombongan kami sebenarnya terdiri dari delapan orang (termasuk saya, Mbak Sam, dan Mas Erwin) yang terbagi dalam empat sepeda motor.

1

Nah, setelah kami memarkirkan motor, lantas kami langsung menuju situs Candi Borobudur. Cuaca cukup cerah dan suhu cukup panas saat itu, wajar saja karena sudah dekat waktu tengah hari. Padatnya pengunjung semakin menambah kelembapan udara.

 

Borobudur: Nama dan Struktur

Sebenarnya, yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah melakukan educated guess alih-alih hipotesis mengenai asal mula nama Borobudur. Namun, saya cenderung setuju dengan pendapat dari De Casparis, seorang ahli purbakala berkebangsaan Belanda, yang berpendapat bahwa nama Borobudur berasal dari kata bhumisambharabudhara. Kata ini memiliki arti ‘Bukit Tumpukan Kebajikan pada (kesepuluh) Tingkatan-tingkatan (ke-Bodhisattwa-an)’. Kata ini lambat laun juga karena faktor kepraktisan penyebutan berubah menjadi kata ‘borobudur’. Saya kira, sepuluh tingkat candi ini menggambarkan sepuluh parami dalam ajaran Buddha. Apabila kawan ingin mengetahui lebih lanjut mengenai hal ini, saya sarankan untuk membaca buku Borobudur: Warisan Umat Manusia yang ditulis oleh Daoed Joesoef. Nagaoka (2016) pun menyebutkan bahwa penampakan dari struktur unik Candi Borobudur ini berakar pada penghormatan pada leluhur, pegunungan yang bertingkat-tingkat, dikombinasikan dengan konsep pencapaian Nirwana.

2

Kamadhatu

Candi Borobudur secara umum terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Kamadhatu, Arupadhatu, dan Rupadhatu. Masing-masing memiliki makna tersendiri namun tetap saling berkaitan satu sama lain. Adapun kamadhatu mencerminkan tahapan makhluk yang masih memiliki nafsu (kama) yang menggebu. Bagian ini meliputi kaki candi yang berhiaskan relief tentang karmawibhangga.

Bagian kaki candi yang sengaja dibiarkan terbuka. Terlihat kata dalam bahasa Jawa yang diduga sebagai pengingat bagi pemahat mengenai apa yang diilustrasikan.

Kaki Candi Borobudur yang kita lihat saat ini bukanlah kaki candi yang sebenarnya. Bagian kaki ditutupi lagi dengan batu-batu untuk menjaga agar bangunan candi tidak runtuh. Sebagian batu penutup disingkirkan untuk memperlihatkan bahwa pada bagian kaki juga terdapat relief.

Kaki candi yang asli berukirkan relief yang mengisahkan tentang karmawibhangga, yaitu mengenai sebab-akibat (hukum kausalitas) (Fontein, 2015). Salah satu ajaran Buddha adalah mengenai reinkarnasi. Hal ini berhubungan dengan karmawibhangga. Maksudnya, apabila di kehidupan sebelumnya, katakanlah kita sering menghina orang lain, berkata buruk mengenai orang lain, maka di kehidupan kita selanjutnya maka wajah kita akan menjadi jelek. Pada beberapa pigura relief di karmawibhangga kita dapat menemukan beberapa huruf Jawa. Hal ini menunjukkan bagi para pemahat, sebab-akibat apa yang dikisahkan pada suatu bagian.

Rupadhatu

Kami naik ke tingkat Rupadhatu melalui pintu barat, dari bawah kami dapat melihat langkan-langkan yang berisi patung Buddha dengan posisi Amitabha. Rupadhatu menggambarkan bagian bahwa makhluk sudah mampu menanggalkan nafsunya, namun masih terbelenggu nama dan wujud. Tangga yang digunakan memiliki railhand yang menggambarkan lidah Makara, makhluk mitologi ini berbentuk ikan berkepala gajah, meskipun tidak semua tangga terdapat railhand berbentuk lidah ini. Beberapa tangga dilengkapi railhand dari aluminium dan anak tangganya dilapisi material semacam karet tertentu untuk melindungi permukaan batu dibawahnya. Lalu terdapat saluran air yang disebut jaladwara. Saluran air ini juga dihiasi pahatan makhluk mitologi, meskipun beberapa jaladwara ada yang hilang hiasannya itu. Mulut makhluk mitologi inilah yang digambarkan sebagai saluran air. Hal ini mirip seperti mulut gargoyle di banyak bangunan di Eropa.

Makara, dalam mitologi Bali kadang disebut gajahmani.
Makara, dalam mitologi Bali kadang disebut gajahmani.
Jaladwara
Jaladwara

Arsitektur Candi Borobudur berbeda dari rupa Candi Mendut atau Candi Pawon. Tidak ada ruang tertutup atau bilik tersendiri untuk bersemedi. Saat itu saya melihat dua orang sedang berkeliling sambil merapal sesuatu. Saya mengira mereka sedang berdoa. Namun, ketika saya menanyakan hal ini pada salah satu kawan baik saya yang menganut Buddha, ia menjelaskan bahwa kegiatan itu seperti meditasi berjalan. Kemudian saya mengerti bahwa berjalan di lorong-lorong candi lalu naik setingkat demi setingkat itu disebut pradaksina.

Dinding-dinding dalam di bagian Rupadhatu menceritakan keriuhan di surga menyambut kelahiran Siddharta hingga perjalanannya hingga menjadi Bodhisattwa. Kisah-kisah ini diambil dari kitab Gandawyuha. Cara membaca relief di bagian lorong dalam adalah dari kanan ke kiri. Sedangkan kisah-kisah yang dipahat di bagian dinding langkan dibaca dari kiri ke kanan. Kisah-kisah ini bercerita tentang kehidupan yang dialami Siddharta sebelum dilahirkan dalam bentuk manusia yang diambil dari kitab Jataka dan Awadana. Idealnya, apabila hendak melakukan pradaksina, diawali dari pintu di sebelah timur, lalu terus berkeliling lalu naik setiap tingkat di pintu timur juga.

Saya melihat terdapat relief yang menggambarkan kelahiran Siddharta ke dunia. Mas Erwin bercerita bahwa tujuh langkah pertama setelah Siddharta lahir, tumbuh kelopak bunga teratai. Saya kira, elemen bunga teratai atau lotus sangat kuat dalam ajaran Buddha karena penggambaran kelopak lotus juga muncul sebagai dudukan stupa di tingkat Arupadhatu.

Mbak Sam menceritakan salah satu relief yang masih utuh dan terlihat jelas. Well, yang akan saya sampaikan ini tidak persis kata-kata Mbak Sam, hanya saja, intinya seperti itu. Relief itu mengisahkan penjelmaan Siddharta menjadi kerbau yang memiliki sifat sangat sabar. Kerbau jelmaan Siddharta ini berkawan baik dengan seekor monyet yang usil.

Monyet tidak jahat tapi nakal. Kadang ia menarik-narik tanduk kerbau, kadang ia menusuk-nusuk hidung kerbau dengan ranting. Nah, suatu ketika, keduanya bertemu dengan raksasa. Raksasa itu bertanya pada kerbau, kenapa kerbau diam saja padahal ditusuk-tusuk ranting di hidung itu sakit?

Kerbau menjelaskan bahwa ia diam bukan karena tidak merasa sakit atau tidak mengerti apa yang dilakukan monyet. Kerbau merasa bahwa monyet adalah temannya dan selama hal itu membuat temannya (yaitu monyet) senang, maka kerbau ikut bahagia. Lalu, kerbau tahu dan mengerti bahwa monyet itu usil dan perbuatan yang dilakukan monyet itu kurang baik, namun kerbau yakin bahwa suatu saat monyet akan sadar bahwa perilakunya itu tidak baik. Akhirnya raksasa terkesan dengan penuturan kerbau dan berguru kepadanya.

Selain itu, ada relief di bagian dinding langkan yang utuh. Kali ini menceritakan ketika wujud Siddharta berbentuk penyu di lautan. Nah, dikisahkan ada sekelompok saudagar yang sedang naik kapal. Tiba-tiba badai datang, ombak bergulung mengombang-ambingkan kapal yang mereka tumpangi. Lalu datanglah penyu jelmaan Siddharta membantu mereka. Mencegah mereka dari tenggelam. Namun, setelah ditolong, mereka kelaparan yang berakhir dengan pertikaian. Penyu pun akhirnya merelakan dirinya sendiri untuk dimakan para penumpang kapal. Hal ini membuat mereka sadar bahwa yang mereka lakukan (bertengkar) itu tidak baik.

Saya agak lupa di tingkat berapa relief ini berada, namun terdapat relief yang menggambarkan Siddharta sedang memegang busur dan panah. Apabila menurut keterangan Daoed Joesoef, relief tersebut menggambarkan saat Siddharta menerima tantangan dari saudaranya yang bernama Dewadatta, sebagai salah satu persyaratan untuk meminang Gopa, seorang putri dari kalangan bangsawan.

Bagian lain dari relief juga ada deskripsi makhluk menyerupai setengah manusia setengah burung. Gambar relief ini mengingatkan saya akan sosok centaur, makhluk mitologi setengah manusia setengah kuda yang pertama kali saya tahu dari buku-buku karangan C.S. Lewis. Nah, makhluk setengah manusia setengah burung ini ternyata adalah para kinnari (putri dari bangsa Kinnara). Joesoef mengatakan dalam bukunya bahwa salah satu dari putri itu adalah Manohara, istri dari Pangeran Sudhanakumara dari Kerajaan Pancala Utara. Saya kira, nama hotel Manohara yang juga berlokasi di dekat Balai Konservasi Borobudur asal mulanya dari kisah ini.

6

Relief-relief di bagian dalam lorong Rupadhatu berwarna agak oranye. Mas Erwin berkata bahwa pada saat zaman kolonial, dinding relief dilapisi oleh sejenis bahan tertentu agar saat difoto, hasilnya terlihat bagus. Namun, kini malah berakibat korosi bagi relief. Sebenarnya ada cara untuk melapisi relief dengan semacam pelitur. Dahulu , pelitur tersebut dinamai vajraleppa dengan alasan karena saat candi tertimpa sinar matahari, ia menjadi indah berkilauan. Hingga kini belum diketahui apa saja komposisinya.

7

Arupadhatu

Kami tidak terlalu lama berkeliling, hawa panas dan banyaknya pengunjung membuat kami segera beranjak ke bagian Arupadhatu. Bagian ini menggambarkan tingkat dimana nama dan wujud sudah tanggal. Namun, apabila diperhatikan lebih jauh, bentuk lubang dari stupa di Arupadhatu tidak seragam seluruhnya. Ada yang berbentuk belah ketupat dan ada yang berbentuk persegi. Bentuk belah ketupat muncul lebih dahulu. Hal ini memiliki makna bahwa sekalipun sudah terlepas dari nama dan wujud, rintangan masih menghadang. Bentuk belah ketupat masih bisa goyah. Ia lebih sulit untuk tetap stabil. Sedangkan bentuk lubang selanjutnya, yaitu yang berbentuk persegi, ia melambangkan kemantapan hati dan kemampuan untuk menghadapi ujian. Saya sendiri yang berasal dari etnis Sunda, memahaminya sebagai filosofi masagi, merupakan usaha kita mencapai keseimbangan antara hal yang lahiriah dan batiniah, memunculkan harmoni dalam hidup.

Bentuk lubang yang berbeda.
Bentuk lubang yang berbeda.

Sebelah timur laut, kita dapat menemui stupa yang hanya tertutup setengahnya, memperlihatkan arca didalamnya. Nah, arca yang ini dapat digunakan sebagai penanda waktu terbitnya matahari. Jika kawan beruntung, mungkin kawan bisa memperoleh fenomena matahari terbit yang muncul tepat ditengah-tengah antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi.

9

Saya sungguh bersimpati pada petugas keamanan yang berusaha menegur pengunjung untuk tidak duduk di sisi-sisi stupa -termasuk di sisi stupa utama- namun tidak diacuhkan. Saat kami akan turun melalui pintu utara, Mas Erwin yang berjalan di depan saya mengingatkan seseorang yang duduk di salah satu stupa untuk berdiri. Namun, yang diingatkan malah ngeyel, lucunya, belum beberapa langkah kami berjalan, petugas dengan toanya dengan jelas menegur orang tersebut. Mas Erwin pun berkata pada saya, “Tuh kan, dibilangin juga apa. Karma itu ada.” Saya tertawa kecil mendengar hal itu.

Nah, ketika kami tiba di bagian Rupadhatu bagian utara, kami melihat hal ini.

1011

Dann inilah orang-orang yang menjadi tour guide dadakan kala itu:

13

14

Lebih jauh mengenai Borobudur

Candi Borobudur yang dibangun sekitar abad ke-7 atau 8 ini bercorak Buddha, dibangun oleh wangsa Sailendra. Borobudur dibangun seperti puzzle. Pemasangan tiap batuannya sengaja tidak terlalu padat, menyisakan sedikit ruang untuk mengantisipasi adanya guncangan. Pada prosesnya, para pendeta selalu bersemedi terlebih dahulu untuk penentuan lokasi pembangunan candi yang baik. Selalu. Tanda tanah bagus untuk dibangun candi adalah saat disiram air, air tidak menyerap, tapi menggenang, menandakan kondisi tanah yang padat.

Terdapat celah-celah kecil disetiap pemasangan batu.

Patung-patung Buddha yang terdapat di candi dipahat dari batu utuh. Hal ini membuat bagian leher patung menjadi bagian paling rentan karena memang tidak disambung besi atau apapun. Sehingga, pada saat dulu mengalami keruntuhan, banyak kepala dari patung-patung itu terpisah dari bagian tubuhnya.

Kepala-kepala patung ini sering dijadikan cenderamata bagi pengunjung/tamu mancanegara zaman kolonial (Hindia Belanda) dulu. Balai Konservasi Borobudur telah mengoleksi banyak kepala patung yang terpisah dari tubuhnya. Namun usaha pengembalian kepala patung kepada tubuh yang tepat cukup sulit dilakukan karena patung Buddha yang terdapat pada Candi Borobudur dipahat oleh orang yang berbeda-beda. Gestur dan raut wajah Buddha yang digambarkan pun berlainan. Adapun beberapa kepala yang telah berhasil dikenali dan diyakini berasal dari patung tertentu, disambung kembali dengan suatu sambungan batang besi dan dikuatkan dengan lem khusus.

Pasca pemugaran masif yang selesai pada tahun 1983, kini terdapat suatu alas di setiap tingkatan untuk meminimalisir rembesan air secara langsung pada batuan. Adapun pemeliharaan candi kini dilakukan secara periodik. Secara umum, pemeliharaan dilakukan dengan dua cara, yaitu kering dan basah. Cara kering yaitu dengan disikat secara hati-hati dengan sikat halus. Cara basah dengan disemprot air bertekanan tinggi.

Terdapat beberapa saran yang akan saya sampaikan apabila kawan berkunjung ke Candi Borobudur, yaitu:

  1. Tidak disarankan untuk mengenakan high-heels sebagai alas kaki. Alasan:
  • Membuat tungkai kawan rentan terkilir. Beberapa tangga di Candi Borobudur itu cukup tinggi. Yah, kecuali kawan hanya berjalan di kompleks candi saja sepertinya tidak mengapa. Tak perlulah naik ke atas.
  • Merusak permukaan batu yang terdapat di candi. Sudah cukuplah ia menahan beban dari bobot kita. Ingat pelajaran ilmu alam dulu, tekanan itu berbanding terbalik dengan luas permukaan. Semakin kecil suatu permukaan benda, dengan gaya yang sama besar, tekanannya akan lebih besar dibanding dengan permukaan yang besar.
  • Tidak membuang air liur di areal candi.

2. Beberapa orang memang memiliki kadar saliva berlebih dibanding yang lain. Namun, saya kira, dalam budaya kita, tetap saja meludah di tempat publik itu tidak sopan. Air liur manusia mengandung enzim-enzim yang digunakan untuk mencerna makanan. Dikhawatirkan saat saliva menempel di permukaan bebatuan akan menimbulkan korosi yang kronis.

3. Tidak menyentuh relief. Naik ke atas candi cukup melelahkan, setidaknya membuat tubuh kita mengeluarkan keringat. Ketika kita menyentuh relief dengan tangan yang lembap penuh keringat dan bakteri, ia akan menempel ke batuan dan menimbulkan korosi.

 

Tulisan ini adalah hasil dari pengamatan saya selama sekitar dua jam lebih, berikut penuturan yang disampaikan Mas Erwin dan Mbak Sam, keterangan yang saya baca dari beberapa buku mengenai Candi Borobudur, juga penjelasan kawan saya. Tentu masih banyak kekurangan disana-sini, saya harap saya akan mengunjungi situs Candi Borobudur lagi di lain kesempatan. Candi Borobudur mengguratkan kisah perjalanan yang tersimpan kebajikan didalamnya.

Seperti yang sudah-sudah, saya ingin menekankan bahwa saya tidak memaksa kawan untuk sepakat dengan apa yang saya tuliskan. Apabila memang ada yang merasa keberatan, mari kita diskusikan bersama. Saya yakin bahwa ada hal-hal yang memang tidak bisa dikompromikan, tapi saya percaya bahwa semua hal dapat dibicarakan baik-baik.

 

Tabik.

Berikut beberapa foto lain:

15161718192021

22

*Terima kasih kepada Mbak Sam dan Mas Erwin yang telah mengajak saya mengunjungi situs dan menjadi tour-guide tidak resmi.

Dokumentasi: Sumber gambar adalah hasil jepretan Mas Erwin, Mbak Dyah, dan saya sendiri.

Ditulis oleh Viny Alfiyah, mahasiswa Kimia 2015, masih senang ngopi dan makan nasi, jadi tentu penulis masih ada kemungkinan untuk melakukan kesalahan dalam penulisan artikel ini, maka penulis akan sangat menghargainya jika kawan mau berdiskusi dengan penulis agar penulis dapat menjadi pribadi dan manusia yang lebih baik lagi.

Merawat Asa di Desa

Tabik untuk kawan semuanya.

Selama manusia masih ada, maka ceritan tentangnya akan selalu ada. Setidaknya itu yang penulis yakini. Namun, semenjak awal mula penulis ingin menyampaikan bahwa ini adalah sebuah kisah, tak perlulah kiranya segurat kisah ini dibaca dengan berkerut dahi. Pun, apakah kawan mesti setuju dengan apa yang penulis uraikan juga sepenuhnya menjadi hak kawan. Penulis sudah sepatutnya memberikan pilihan pada kawan untuk tidak setuju.

Nah, satu kisah untuk penulis bagikan ini berawal dari suatu postingan di grup sosial media yang mengumumkan bahwa pada tanggal 27 November 2016 akan diadakan Familiarization Trip ke Dusun Tlatar Kandangan, Desa Wonokerto, Turi, Kabupaten Sleman. Sejujurnya, penulis berniat mengikuti ini karena alasan ingin melepas lelah karena pada hari sebelumnya, Sabtu, 26 November 2016, Keluarga Mahasiswa Kimia melaksanakan Musyawarah Mahasiswa Kimia (MMK) sebagai acara puncak dari rangkaian Pemira KMK 2016. Penulis yang saat itu diberikan amanah menjadi koordinator acara berpikir bahwa kegiatan Familiarization Trip (FamTrip) ini sebagai ajang refreshing juga. Sesederhana itu saja.

Tapi, apa yang penulis dapatkan ternyata lebih dari itu.

Beberapa hari sebelumnya, teman penulis satu prodi mengatakan bahwa ia ingin menitipkan motornya di kosan penulis. Sekalipun agak kaget, penulis senang juga ternyata ada teman yang penulis kenal ikut dalam FamTrip. Meski tentu, penulis merasa antusias untuk memperoleh kenalan baru.

Nah, mari kita langsung pada hari Minggu, 27 November 2016. Cuaca cerah, meski masih agak lelah, penulis merasakan semangat karena akan bertemu orang-orang baru hari itu. Berdua dengan teman penulis yang bernama Ifada.

Peserta FamTrip diharuskan untuk registrasi dahulu di lobi GSP. Sesuai pemberitahuan sebelumnya dari panitia, peserta dijadwalkan untuk registrasi pada pukul 07:00. Penulis memang mengharapkan keberangkatan sesuai jadwal namun yah keberangkatan tertunda sekitar 1 jam lebih karena menunggu peserta yang belum hadir. Marilah kita cukupkan sampai disana tentang hal itu, sekalipun saja time is priceless. Yah, pada akhirnya rombongan kami berangkat juga menggunakan bis.

Untungnya, bis yang disediakan pantia nyaman karena ber-AC. Penulis tidak dapat menggambarkan perjalanan ke tempat tujuan karena tak berapa lama setelah bis berjalan, jujur saja, penulis tertidur. Penulis terbangun saat kira-kira 20 menit sebelum tiba di tempat tujuan. Kiri-kanan jalan meskipun masih beraspal sudah banyak terlihat perkebunan salak. Tak lama kemudian kami sampai juga di Tlatar Kandangan.

Kami disambut oleh Menteri Pengembangan Desa Mitra yaitu Rizqi Prasetiawan (Mas Pras) dan perwakilan dari pihak desa yaitu Ari (Mas Ari). Rombongan diajak untuk bersantai sejenak di tempat transit, kami dijamu dengan salak. Mas Pras memberikan penjelasan bahwa alasan kegiatan pada hari tersebut dinamakan Familiarization Trip karena maksud dari kegiatan tersebut adalah untuk ‘memfamiliarkan’ nama Tlatar Kandangan sebagai lokasi Eco-Tourism. Bukan hanya untuk mengenalkan (to introduce) bukan pula sebuah perjalanan keluarga (family trip).

Suasana di tempat transit.
Suasana di tempat transit.
Gapura kampung Tlatar Kandangan.
Gapura kampung Tlatar Kandangan yang kami lewati saat menuju tempat upacara dilangsungkan.

Mas Ari menjelaskan bahwa kami akan dipandu untuk menghadiri upacara sebelum pawai keliling Tlatar Kandangan. Nah, rombongan bergabung dengan penduduk setempat untuk mengikuti upacara pembukaan sebelum parade dimulai. Rombongan juga dijamu dengan penganan khas hasil palawija dan teh manis hangat sambil menyaksikan penampilan tari dengan iringan tetabuhan gamelan.

Penampilan tari tradisional.
Penampilan tari tradisional.
Nayaga yang bertugas akan gamelan.
Nayaga yang bertugas akan gamelan.
Suasana rombongan yang berbaur dengan warga setempat.
Suasana rombongan yang berbaur dengan warga setempat.

Ada yang menarik dalam rangkaian upacara ini, yaitu pembacaan kisah sejarah asal mula nama Tlatar Kandangan. Syahdan, penulis kurang mampu menangkap keseluruhan cerita karena dikisahkan memakai bahasa Jawa. Namun, secara garis besar terdapat pemberontakan yang berlokasi di Tlatar Kandangan sehingga Panembahan Senapati mengadakan sayembara dan seterusnya. Pun, diungkapkan pula asal nama Tlatar Kandangan, yang juga disampaikan dalam bahasa Jawa. Penulis rasa, apabila nanti kisah ini ditampilkan secara teatrikal atau dengan menggunakan media wayang, mungkin akan lebih menarik.

6

7

8

10

11121314

Gunungan yang akan di'grubug'.
Gunungan yang akan di’grubug’.

Setelah melakukan pawai keliling kampung, kegiatan dilanjutkan dengan berebut hasil bumi yang dijadikan gunungan. Yah, mirip dengan Sekaten yang diadakan Kraton Yogyakarta. Lalu, rombongan bersama masyarakat setempat makan bersama, lesehan. Makan dengan cara lesehan seperti ini sudah menjadi adat di etnis Jawa maupun Sunda sebagai tanda guyub. Sejujurnya, makanan yang disediakan tidak habis, separuhnya saja mungkin tidak (sekalipun sudah beberapa kali tambah).

Sungguh banyak sekali bukan?
Sungguh banyak sekali bukan?

1718192021

Rombongan kembali diarahkan ke tempat transit usai makan siang. Lalu, ada sambutan (yang sangat telat) dari Ali Zaenal (Presma BEM KM UGM 2016). Namun, ada yang menarik dari sambutan Mas Ali ini, ia berpendapat bahwa peradaban suatu bangsa tidak hanya dilihat dari perkembangan kotanya, tapi bahwa peradaban suatu bangsa juga dibangun dari desanya. Pemikiran yang sedikit berbeda dengan pepatah lama bahwa jika kita ingin melihat kemajuan peradaban suatu bangsa, maka lihat kotanya. Well, mari hentikan sejenak pembahasan hal itu.

Bincang-bincang dengan pihak perwakilan kampung dan pelopor eco-tourism di Tlattar Kandangan.
Bincang-bincang dengan pihak perwakilan kampung dan pelopor eco-tourism di Tlattar Kandangan.

Mas Pras (lagi-lagi) mengungkapkan bahwa ada staf dari Kementerian PDM yang bolak-balik ke Tlatar Kandangan dalam seminggu itu bisa 3 kali. Penuturan dari Mas Pras ini mengingatkan penulis pada perkatan Tan Malaka, cuma manusia pengecut atau curang yang tiada inign melakukan pekerjaan yang berat, tetapi bermanfaat buat masyarakat sekarang dihari kemudian itu. Kesibukan sebagai mahasiswa, penulis kira tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus bekerja.

Siang itu, perwakilan dusun turut memberikan sambutan. Beliau mengatakan bahwa awalnya para pemuda kampung, apalagi sedikit (kurang dari 1000 meter persegi) itu sering lebih memilih untuk merantau ke kota untuk bekerja di pabrik atau di bidang konstruksi. Meski bukan berarti merantau itu tidak baik. Merantau membuat pikiran kita lebih terbuka, namun tetap ada waktu kita mesti pulang dan membangun tanah sendiri.

Mas Ari, pelopor Eco-Tourism kampung Tlatar Kandangan ini memaparkan bahwa salak pondoh itu panen dua kali dalam setahun biasanya. Sekitar bulan Juli dan bulan November-Desember. Hasilnya tentu banyak salak menumpuk, akibatnya, mengikuti hukum klasik ekonomi ceteris paribus unum a.k.a hukum supply and demand, maka harga salak perkilogramnya dapat begitu rendah, mencapai 3000 – 5000 rupiah perkilogram. Hal ini tentu menjadi pukulan tersendiri bagi masyarakat setempat. Sehingga, konsep eco-tourism ini menjadi salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut.

Konsep eco-tourism ini selain sebagai solusi bagi masalah yang timbul karena turunnya harga salak, turut mempertimbangkan kondisi lingkungan. Penulis yakin setiap lokasi wisata memiliki jumlah kapasitas tertentu. Nah, apabila kita melewati nilai kapasitas ini, maka akan mengancam kelestarian lingkungan itu sendiri.

Mas Ari juga menyebutkan apabila ada dari mahasiswa yang ingin melaksanakan penelitian, tentu masyarakat akan menerima dengan tangan terbuka. Seperti ada observasi yang dilakukan salah satu pelajar di sana bahwa getah pohon salak bisa dijadikan pengawet. Namun, belum diadakan penelusuran lebih lanjut karena biasanya getahnya itu dijadikan disinfektan apabila tertusuk duri salak.

Kembali ke rangkaian kegiatan rombongan FamTrip. Acara yang dilakukan adalah trekking. Nah, rombongan peserta dibagi dua kloter, kloter 1 mencoba trekking dulu baru melakukan demo pengolahan salak. Nah, sedangkan kloter 2 justru sebaliknya. Penulis berada di kloter 2, teman penulis satu prodi di kloter 1. Segera setelah pembagian dilakukan, peserta yang terdapat dalam kloter 1 menuju ke luar, peserta di kloter 2 akan menyaksikan demo pengolahan salak.

Ada dua ibu-ibu yang memperagakan demo, satu akan membuat wajit salak, ibu yang lain akan membuat kopi salak dan adonan kerupuk salak. Nah, kebetulan karena posisi penulis duduk saat itu terdekat dengan ibu yang sedang mengolah salak menjadi wajit, maka penulislah yang sepertinya harus membantu ibu tersebut. Menurut pengalaman penulis, lebih baik mengolah adonan wajit di awal saja karena jika diakhir-akhirkan pasti nanti adonannya semakin lengket.

Demo Pengolahan Salak

Pembutan wajit salak, agak berbeda dengan wajit labu yang dulu pernah penulis buat di kampong halaman. Nah, untuk membuat wajit salak, ternyata setelah daging salak dipisahkan dengan bijinya, daging salak dikukus agar kadar airnya berkurang lalu dihaluskan dengan cara diblender. Daging salak yang sudah halus dimasukkan ke dalam wajan, lalu dicampur dengan gula dan parutan kelapa. Adonan terus diaduk perlahan dengan api yang kecil. Pengadukan ini wajib, karena jika tidak, adonan akan wajib. Hasil wajit salak kloter 2 memang tidak gosong, namun terlalu kering sehingga sulit dibentuk. Ibu yang memandu demo mengatakan bahwa ia sebelumnya belum pernah membuat wajit dengan kompor gas karena sebelumnya selalu dengan tungku bahan bakar kayu. Namun, saat penulis melihat hasil dari kloter 1, sukses dibentuk balok.

Pembuatan kopi salak itu bahan baku utamanya adalah ketos (biji) salak yang belum atos (keras). Biji salak dijemur kemudian dipotong empat agar bentuknya lebih teratur sehingga lebih mudah saat digiling. Biji yang telah dipotong disangrai dengan api kecil, lalu ditumbuk, dan digiling. Saat itu kami belum sempat membuat hingga jadi, namun kami sempat mencoba minuman kopi tersebut. Kopi salak tidak dimaksudkan untuk membuat kita begadang, namun cenderung untuk minuman kesehatan. Sampai saat itu, perniagaannya masih dalam bentuk perdagangan online karena bukan merupakan mata pencaharian utama. Produk olahan salak lainnya adalah kerupuk salak. Nah, dalam pembuatan kerupuk salak ini prosesnya penulis kurang paham, karena saat itu terlalu fokus mengaduk adonan wajit salak (pembuatan wajit salak dan dua macam olahan salak lainnya dilakukan secara bersamaan).

Trekking

Usai shalat Ashar, peserta yang termasuk kloter 2 giliran mencoba jalur trekking. Penulis dari awal sengaja mengenakan sandal gunung karena berspekulasi akan ada kegiatan trekking. Maka, apabila berkunjung ke Tlatar Kandangan dan berniat untuk menempuh jalur trekking-nya, disarankan untuk memakai sandal gunung atau sepatu olahraga. They would help you, really. Namanya juga trekking alias berjalan jauh ‘kan? Hehehehe.

Kondisi cuaca saat trekking memang gerimis sepanjang perjalanan. Udara segar dan jalur trekking yang menantang, dilengkapi dengan beberapa tempat yang dapat dijadikan ‘pos’, sangat cocok sebagai tempat makrab lembaga.

Ini tempat yang penulis sebut 'bendungan kecil'.
Ini tempat yang penulis sebut ‘bendungan kecil’.

24

Selain melewati satu bendungan kecil dimana menjadi tempat pertemuan dua anak sungai. Juga terdapat satu bendungan yang besar juga cukup deras arusnya. Nah, dekat bendungan besar tersebut ada semacam saluran air yang cukup dalam, penulis tidak ikut berenang namun penulis perkirakan dalamnya mencapai sekitar 2 meter. Apabila kawan ingin mencapai dataran kecil di bendungan besar ini, kita harus melewati celah sempit (mesti hati-hati benar). Namun, suasana di dataran kecil dekat bendungan itu benar-benar seru. Suara derasnya air terasa sangat sejuk di telinga.

25

Inilah bendungan besar.
Inilah bendungan besar.

27

Nah, selanjutnya kami melanjutkan perjalanan lagi. Well, mengingat tadi kami turun cukup jauh untuk mencapai sungai, ya wajar saja kalau perjalanan pulang ini cukup membuat penulis harus pandai-pandai mengatur napas.

Sesampainya kami di tempat transit, peserta dari kloter 1 sedang mengisi kuisioner, penulis sendiri sejujurnya tidak mengisi kuisioner karena diajak membuat video testimoni. Nah, di akhir acara, setiap peserta diberikan souvenir yaitu kerupuk salak, bubuk kopi salak, dan wajit salak. Selepas waktu magrib, kami kembali naik bis untuk menuju ke UGM. Oh ya, satu lagi yang menjadi keunggulan dusun Tlatar Kandangan ini, terdapat jalan mengarah ke utara, dan apabila cuaca cukup bersahabat, maka kita akan memperoleh pemandangan yang jelas sekali ke Gunung Merapi.

2829

30

.

Apabila kawan tertarik untuk mengadakan acara di Tlatar Kandangan, brosur resminyanya dapat kawan unduh disini.

Komentar personal

Pada 15 Desember 2016, penulis sempat menghadiri diskusi public sekaligus launching buku Catatan Akhir Tahun 2016 dari LBH Yogyakarta di convention hall Gedung BB Fisipol UGM. Turut hadir pada kesempatan tersebut seorang pengacara yang berkonsentrasi di bidang agrarian, Siti Rakhma Mary H. Beliau menyebutkan bahwa pada tahun 2017 terdapat UU Reforma Agraria.

Peraturan ini merupakan wujud dari kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo mengenai daerah pedesaan. Masyarakat dapat mengusulkan untuk menggunakan sejumlah lahan pemerintah untuk digarap. Pemerintah akan mendampingi mulai dari penanaman, sampai pemasaran yang dapat diwujudkan dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa ataupun koperasi.

Pemerintah membebaskan akan ditanami apa selama tidak melanggar aturan (bisa jagung, palawija, padi, dsb.). Desa yang dikembangkan nanti bermacam-macam, disesuaikan dengan kondisi geografis dari lokasi desa. Apabila memang dekat lokasi perkebunan, maka dijadikan desa perkebunan. Apabila terletak di dekat bibir pantai maka dapat masuk kategori desa pesisir.

Penulis menyarankan agar pada masa bakti pengurus BEM KM UGM 2017, Kementerian Pengembangan Desa Mitra tetap diadakan. Sekalipun dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan Advokasi untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai Reforma Agraria tersebut.

Penulis ingin mengutip perkataan salah legenda revolusi yang bagi penulis masih terlalu lurus punggungnya untuk dituruti secara utuh -Tan Malaka- dalam salah satu buku beliau, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” Mahasiswa bukan hanya memiliki kewajiban untuk belajar dibalik dinding-dinding kelas, ia juga memiliki tanggung jawab untuk turut membangun masyarakat.

Kawan masih ingat pendapat Mas Ali di awal tulisan ini? Penulis kira, mungkin keadaan di perkotaan dapat dijadikan salah satu faktor tolok ukur peradaban suatu bangsa, namun, apabila melupakan sama sekali pembangunan desa, penulis kira tidak. Pedesaan memiliki karakter dan caranya sendiri untuk turut memajukan peradaban, ingatlah sesungguhnya padi tumbuh tidak berisik.

Sekali lagi, penulis ingin menekankan bahwa penulis tidak memaksa kawan untuk sepakat dengan apa yang penulis tuliskan. Jika kawan tidak sepakat ya sudah, tak usah diperpanjang dengan pertengkaran, setidaknya kita sepakat bahwa kita tidak sepakat. Selamat tahun baru.

 

Tabik.

 

Dokumentasi: sumber dari panitia FamTrip, Ahmad Ariefudin, Liza, Imta Vivi Variyani, dan dokumentasi pribadi penulis.

*Tulisan ini penulis dedikasikan untuk panitia dari Kementerian Pengembangan Desa Mitra BEM KM UGM 2016 beserta para peserta FamTrip 2016 yang kocak dan seru; tanpa kalian, tulisan ini mungkin tak akan pernah ada.

Ditulis oleh Viny Alfiyah, mahasiswa Kimia 2015, masih senang ngopi dan makan nasi, jadi tentu penulis masih ada kemungkinan untuk melakukan kesalahan dalam penulisan artikel ini, maka penulis akan sangat menghargainya jika kawan mau berdiskusi dengan penulis agar penulis dapat menjadi pribadi dan manusia yang lebih baik lagi.