Aku Menulis-Aku Eksis

‘Kau tahu mengapa kucinta kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis.’- Pramoedya Ananta Toer

                Ketika kita membicarakan budaya menulis, maka hal itu tidak akan jauh-jauh dari budaya membaca. Ketika kita membicarakan tentang kepenulisan, maka kegiatan membaca adalah suatu keniscayaan. Saya berani mengatakan, tidak ada satu pun penulis yang mampu menulis tanpa membaca, kalaupun ada, rasa-rasanya hal itu sangat jarang terjadi. Seperti apa yang dicatatkan Tan Malaka, the Founding Father of Indonesia yang menulis buku Naar de Republiek Indonesia, dalam buku beliau yang berjudul Madilog, “Sudah tentu seorang pengarang atau penulis manapun juga dan berapaun juga adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham, bahkan musuhnya sendiri, (Malaka, 1951).”

                Mengapa dengan membaca kita akan sedikit terbantu ketika menulis? Pada dasarnya, menurut penulis, kegitatan membaca membuat kita berpikir dan lambat laun akan timbul hasrat untuk menulis. Dengan mmebaca, kita jadi mengetahui pandangan terhadap suatu hal dari berbagai perspektif, karena latar belakang penulis dari suatu karya terkadang mempengaruhi sekali gaya kepenulisan yang dimilikinya. Jujur saja, dulu saya termasuk orang yang cenderung mengabaikan unsur ekstrinsik suatu karya berbentuk tulisan, salah satunya yaitu latar belakang penulis. Namun setelah dipikir ulang, ternyata anggapan saya itu salah. Seorang teman pernah berkomentar bahwa jika saya ingin membaca buku tentang teori seleksi alam, ia lebih menyarankan untuk membaca edisi dua volume The Malay Archipelago dari Alfred Russel Wallace daripada The origin of Species by means of Natural Selection (The Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life) yang ditulis oleh Charles Darwin, yang merupakan sahabat dekat Wallace sendiri. Bukan karena Darwin meneliti di Galapagos dan Wallace di Kepulauan Indonesia, tapi gaya kepenulisan Wallace yang terkesan sebagai sebuah catatan perjalanan (traveling) ilmiah, membuat kita seakan-akan dibawa berjalan-jalan di Indonesia tempo dulu, sedangkan gaya kepenulisan Darwin benar-benar sebagaimana laporan penelitian berbentuk buku pada umumnya. Meski subjek penelitian mereka sama yang mengantarkan mereka pada teori yang sama dalam kurun waktu hampir bersamaan.

Menulis=Eksis

                Bagi penulis pribadi, menulis adalah salah satu sarana untuk mengeksiskan diri. Saya ada karena saya berkarya, terutama dalam bentuk tulisan. Ketika saya tidak berkarya, maka keberadaan saya itu tak lebih dari sekedar ide belaka. Mungkin bagi pembaca, menulis memiliki makna lain, tapi tak mengapa, jika itu terjadi berarti kita sepakat kalau kita tidak sepakat. Meski, jika dilihat dari jumlah jurnal ilmiah yang telah memiliki akreditasi dari LIPI dan akreditasi dari Dikti itu masih relatif kurang. Saat ini (per 6 September 2015), jurnal ilmiah yang mengantongi akreditasi LIPI berjumlah 135 dari berbagai bidang, baik itu Saintek maupun Soshum. Sedangkan yang memiliki akreditasi dari Dikti saja sudah berjumlah hampir dua kali lipatnya, yaitu sebanyak 245.

                Sekilas, angka-angka itu terasa besar, namun jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa Indonesia yang sedang aktif saat ini berjumlah 4,390,271 orang (dengan 113,724 orang dari Fakultas MIPA), jumlah keseluruhan jurnal per jumlah mahasiswa bahkan tidak mencapai satu persen pun. Bahkan, jumlah mahasiswa di Indonesia pun belum mencapai target Angka Partisipasi Kasar (APK) pemerintah pada 2014 lalu yang mencanangkan jumlah mahasiswa terhadap populasi usia 19-30 tahun itu 30% atau sekitar 6,2 juta jiwa.

                Lantas bagaimana dengan kita? Akankah kita menjadi mahasiswa yang produktif berkarya? Terutama dalam hal menulis? Saya tidak tahu, hanya saja saya berharap semoga Tuhan memberikan karunia dan kesempata bagi kita untuk mampu menjadi mahasiswa yang produktif menulis.

Referensi:

Dikti, n.d., Grafik Jumlah Mahasiswa Aktif Berdasarkan Kelompok Bidang, dilihat 6 September 2015 dari forlap.dikti.go.id

Kompas.com. 26 Maret 2011. Mahasiswa di Indonesia Cuma 4,8 Juta, dilihat 10 September 2015 dari kompas.com

LIPI, n.d, Daftar Jurnal Hasil Akreditasi DIKTI, dilihat 6 September 2015 dari jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php//Daftar-Jurnal-Hasil-Akreditasi-DIKTI/Page-10.html

Ibid, n.d, Daftar Jurnal Ilmiah Akreditasi-LIPI, dilihat 6 September 2015 dari jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Daftar-Jurnal-Ilmiah-Akreditasi-LIPI/Hal-6.html

Amedeo Avogadro: Sang Pengacara Tersesat

               Semua orang yang mempelajari cabang ilmu Kimia pasti mengetahui kontribusi seorang Amedeo Avogadro. Hipotesis yang ia kemukakan sangat terkenal. Namun, hipotesis tersebut tidak serta-merta menjadi salah satu hukum fundamental dalam Kimia. Bahkan pada masa awal publikasinya, banyak yang tidak mempercayainya karena keadaan di Eropa pada masa itu.

               Pada awal abad ke -19, para ahli kimia sepakat tentang apa yang mendasari suatu elemen. Kita mesti berterimakasih pada Lavoisier (yang juga wafat dengan cara yang tragis pada masa Revolusi Prancis). Para ahli kimia mulai memahami bahwa elemen-elemen ini memiliki berat yang konsisten dan menjadi tanda mengundang penyelidikan tentang konsep berat atomik secara lebih jauh.

                Perang pada masa Napoleon dan peristiwa-peristiwa semacamnya yang terjadi antar bangsa melemahkan komunikasi para ilmuwan dan komunitas-komunitas ilmuwan. Hal di diperburuk dengan ‘ketidakmauan’ alih-alih keegoisan untuk berbagi info karena mereka menginginkan hak ‘penuh’ atas ide-ide mereka. Bahkan, dua dari tiga pemikir utama pada masa itu, yaitu Dalton dan Gay-Lussac sama sekali tidak antusias terhadap hasil kerja satu sama lain. Mereka tidak melihat bahwa kombinasi antara pengukuran berat dan volume dapat dilakukan. Kehadiran Berzelius pun lebih banyak berkutat dengan pemikirannya sendiri.

Amedeo Avogadro: Sketsa Singkat Perjalanan Hidupnya

Sumber: en.wikipedia.org
Sumber: en.wikipedia.org

                Amedeo Avogadro lahir pada 9 Agustus 1776 dalam sebuah keluarga bangsawan di Turin, Italia. Ayahnya adalah Count Filippo Avogadro dan ibunya bernama Anna Maria Vercelli. Berdasar pada kebangsawanannya, nama lengkap Avogadro adalah Lorenzo Romano Amedeo Carlo Avogadro, Conte di Queregna e di Cerreto. Keluarga besarnya merupakan praktisi hukum secara turun-temurun. Ayahnya dikenal sebagai pengacara dan seorang pegawai negeri, melayani negeri sebagai seorang senator dari Piedmont yang pada akhirnya menjadi presiden senat. Dengan latar belakangnya itu, maka Avogadro masuk ke sekolah hukum dan menjadi sarjana hukum pada usia enam belas tahun. Empat tahun kemudian ia menempuh pendidikan doctoral di bidang hukum gereja.

                Amedeo Avogadro memiliki kesuksesan karier yang luar biasa di bidang hukum hingga pada tahun 1787 ia mendapat gelar yang sama seperti ayahnya. Kemudian pada 1801 ia ditunjuk sebagai sekretaris prefektur untuk distrik administratif di Eridano, dibawah kekuasaan Perancis. Meski begitu, ia memiliki ketertarikan di bidang filsafat alam dan melatih dirinya sendiri di bidang Fisika dan Matematika.

                Pada tahun 1803, ia mulai belajar kelistrikan bersama saudaranya yang waktu itu bekerja sebagai hakim, Felice, yang mungkin terinspirasi dari kompatriotnya, Galvani (1737-1798) dan Volta (1745-1827). Ini menjadikan Amedeo dan Felice sebagai nomine dari Royal Academy of Sciences di Turin. Lalu Amedeo ditunjuk sebagai Demonstrator di Royal College of Turin pada tahun 1806. Tiga tahun kemudian, ia menjadi Professor Filsafat Alam di Royal College of Vercelli dan mengajar Fisika dan Matematika.

                Amedeo mempublikasikan hipotesisnya yang kini sangat terkenal itu pada 1811. Tahun 1820, terbentuk bidang Matematika Fisika di University of Turin dengan Amedeo sebagai ketua pertamanya. Ia kehilangan posisi ini pada 1822 karena pergolakan politik yang terjadi saat itu namun berhasil didapatkannya kembali pada 1834 hingga masa pensiunnya.

                Pasca publikasi hipotesisnya di tahun 1811, Amedeo pun menulis esai di bidang kepadatan (densitas) gas yang berjudul dalam bahasa Inggris ‘Note on the Relative Masses of Elementary Molecules, or Suggested Densities of Their Gases, and on the Constituents of Some of Their Compounds, As a Follow-up to the Essay on the Same Subject. Pada tahun 1821, ia menulis dua paper lagi, yaitu ‘New Considerations on The Theory of Proportions Determined in Combinations, and on Determination of the Masses of Atoms’ dan ‘Note on the Manner of Finding the Organic Composition by the Ordinary Laws of Determined Proportions,’ dan paper tentang teori kombinasi lainnya pada 1841 yang ditulis dalam empat volume.

                Pada tahun 1860, para ilmuwan telah mengerti dengan baik tentang elemen. Teknik yang baik untuk analisis elemen pun telah ditemukan. Sekitar tahun 1855-1859, Stanislav Cannizaro, seorang professor di Genoa yang juga kawan baik Amedeo Avogadro mempelajari hasil kerja Avogadro, yaitu hipotesisnya di tahun 1811.

                Pada saat itu Cannizaro sadar dan memahami pentingnya dan sederhananya dari hipotesa yang dilakukan Avogadro saat itu. Hampir setengah abad berlalu dan ide itu tenggelam begitu lama karena pada masa itu (tahun 1811) Dalton dan Berzelius yang notabene merupakan pemikir utama dominan di Eropa saat itu tidak menerima teori yang diajukan oleh Avogadro karena bertentangan dengan teori mereka. Hal ini diperburuk dengan sulitnya interaksi antar ilmuwan dan komunitasnya di luar Italia.

                Namun, hipotesa Avogadro ini mulai timbul kembali pada 1860 saat Kongres Kimia Internasional pertama kali digelar di Karlsruhe, Jerman. Cannizaro pada waktu itu bersikeras tentang betapa pentingnya hasil kerja Avogadro dan mendemonstrasikannya untuk menunjukkan kegunaannya dalam mengklarifikasi sifat dari elemen, ikatan, atom, dan molekul, terlebih lagi untuk mendapatkan hasil yang akurat tentnag berat dari atom. Hal ini memuluskan langkah Kekule dalam mengembangkan kimia structural dan formulasi tabel periodic bagi Mendeleev.

                Tapi sayangnya, Amedeo tak sempat melihat hipotesanya berubah menjadi suatu hukum. Ia meninggal di Turin pada 9 Juli 1856 dengan meninggalkan seorang istri, Felicita Mazze, dan keenam anak laki-lakinya. Kita patut berterimakasih padanya karena tanpa hasil kerja brilian Avogadro, ilmu kimia belum tentu berkembang sepesat saat ini. Mungkin, sudah menjadi takdir dirinya untuk menjadi pengacara yang tersesat. Setidaknya, Avogadro tersesat di jalan yang tepat.

Referensi:

Murrel, John. n.d. Amedeo and His Constants. sussex.ac.uk, dilihat 31 Agustus 2015 dari sussex.ac.uk/lifesci/chemistry/documents/avogadro.pdf

Nagendrappa, G. 2006. Amedeo Avogadro: Counting Atoms and Moleculesi. umn.edu, dilihat 31 Agustus 2015 dari umn.edu/ships/modules/chem/avogadro.pdf

Novak, Lindsey. n.d. Determining Atomic Wights: The Role of Avogadro’s Hypothesis. famousscientist.org, dilihat 31 Agustus 2015 dari famousscientist.org/amedeo-avogadro/

Selarik Sejarah Nama Indonesia

Sumber gambar: garuda-furniture.com
Sumber gambar: garuda-furniture.com

“What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi).

Begitulah kira-kira kutipan dialog yang mengisahkan drama cinta Romeo dan Juliet karya William Shakespeare. Shakespeare tidak bermaksud menyepelekan arti sebuah nama, maksud Shakespeare pada dialog tersebut akan lebih logis jika ditafsirkan bahwa untuk apa arti sebuah nama (Capulet, nama keluarga Juliet) jika hanya menimbulkan perselisihan antara dua keluarga, bukan malah membawa kebaikan.

Nama Indonesia sendiri, ternyata memiliki sejarah yang cukup panjang. Jika ditengok ke belakang, berawal dari abad ke-19, nama Indonesia tidak terlepas dari anggapan awal bangsa Eropa yang mengira bahwa semua wilayah yang terbentang antara Persia dan Tiongkok disebut Hindia, daerah Asia Selatan disebut Hindia Muka dan Asia Tenggara disebut Hindia Belakang, dan kepulauannya disebut Kepulauan Melayu. Wilayah Kepulauan Melayu ini berganti menjadi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda), dimana dalam hal ini Belanda mengikuti Inggris yang pada masa itu menjajah India dan menamakan wilayah India sebgai British-Indie. Multatuli, atau lebih dikenal sebagai Eduard Douwes Dekker pernah menggunakan nama Insulinde yang dalam bahasa Latin “insula” artinya pulau, yang merujuk pada kepulauan Indonesia.

Pada tahun 1850, George Samuel Windsor Earl, dalam majalah ilmiah tahunan JIAEA volume IV, mengemukakan bahwa masyarakat yang tinggal di Kepulauan Melayu harus memiliki ciri khusus, diantaranya nama khusus yang dapat digunakan untuk merujuk langsung pada orang yang tinggal di Kepulauan Melayu tanpa harus menimbulkan ambigu. Earl pun mengajukan dua nama, yaitu Indunesia atau Malayunesia (“nesos” dalam bahasa Yunani artinya “pulau”). Meski dalam edisi yang sama, James Richardson Logan dalam tulisannya yang berjudul The Ethnology of the Indian Archipelago menganggap bahwa nama “Kepulauan Indonesia” itu terlalu panjang untuk diucapkan, cukup dengan mengucapkan Indonesia saja, meski cakupan wilayah yang dimaksud oleh Logan saat itu adalah dari Sumatra hingga Formosa (Taiwan).

Kata Indonesia ini menjadi terkenal di kalangan akademisi Eropa setelah Adolf Bastian, menulis sebuah buku dengan judul Indonesien oder die Inseln des Malaysichen Archipels. Penggunaan kata Indonesia oleh orang Indonesia sendiri dimulai oleh Ki Hajar Dewantara yang menggunakan nama Indonesisch (kata Indonesia dalam bahasa Belanda) ketika beliau dibuang ke Belanda.

Di Indonesia sendiri, penggunaan kata Indonesia yang merujuk Kepulauan Indonesia mulai umum digunakan sekitar tahun 1920-an. Seperti nama organisasi yang didirikan Dr. Sutomo pada tahun 1924 yang bernama Indonesische Studie Club, Perserikatan Komunis Hindia pun berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia, dan pada 1925 terbentuk organisasi National Indonesische Padvinderij (Natipij). Hingga akhirnya, pada tanggal 28 Oktober 1928, pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia menyatakan nama “Indonesia” sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa. Peristiwa inilah yang kini kita kenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.

Nama negara, boleh jadi bukan orang Indonesia ‘asli’ yang memberikan, tapi itu tidak seharusnya mengurangi rasa nasionalisme dan kesetiaan kita sebagai warga negara Republik Indonesia.

Referensi:

Hutagalung, Batara R., 2006, ‘Asal-usul Kata “INDONESIA”‘, di Gagasan Nusantara, dilihat 16 Oktober 2015, dari batarahutagalung.blogspot.com/2006/03/asal-usul-kata-indonesia.html.

Iqbal, T.M. Dhani, 2011, ‘Menapaki Nama Indonesia’, di Lentera Timur, dilihat 16 Oktober 2015, dari http://www.lenteratimur.com/menapaki-nama-indonesia/.