Merawat Asa di Desa

Tabik untuk kawan semuanya.

Selama manusia masih ada, maka ceritan tentangnya akan selalu ada. Setidaknya itu yang penulis yakini. Namun, semenjak awal mula penulis ingin menyampaikan bahwa ini adalah sebuah kisah, tak perlulah kiranya segurat kisah ini dibaca dengan berkerut dahi. Pun, apakah kawan mesti setuju dengan apa yang penulis uraikan juga sepenuhnya menjadi hak kawan. Penulis sudah sepatutnya memberikan pilihan pada kawan untuk tidak setuju.

Nah, satu kisah untuk penulis bagikan ini berawal dari suatu postingan di grup sosial media yang mengumumkan bahwa pada tanggal 27 November 2016 akan diadakan Familiarization Trip ke Dusun Tlatar Kandangan, Desa Wonokerto, Turi, Kabupaten Sleman. Sejujurnya, penulis berniat mengikuti ini karena alasan ingin melepas lelah karena pada hari sebelumnya, Sabtu, 26 November 2016, Keluarga Mahasiswa Kimia melaksanakan Musyawarah Mahasiswa Kimia (MMK) sebagai acara puncak dari rangkaian Pemira KMK 2016. Penulis yang saat itu diberikan amanah menjadi koordinator acara berpikir bahwa kegiatan Familiarization Trip (FamTrip) ini sebagai ajang refreshing juga. Sesederhana itu saja.

Tapi, apa yang penulis dapatkan ternyata lebih dari itu.

Beberapa hari sebelumnya, teman penulis satu prodi mengatakan bahwa ia ingin menitipkan motornya di kosan penulis. Sekalipun agak kaget, penulis senang juga ternyata ada teman yang penulis kenal ikut dalam FamTrip. Meski tentu, penulis merasa antusias untuk memperoleh kenalan baru.

Nah, mari kita langsung pada hari Minggu, 27 November 2016. Cuaca cerah, meski masih agak lelah, penulis merasakan semangat karena akan bertemu orang-orang baru hari itu. Berdua dengan teman penulis yang bernama Ifada.

Peserta FamTrip diharuskan untuk registrasi dahulu di lobi GSP. Sesuai pemberitahuan sebelumnya dari panitia, peserta dijadwalkan untuk registrasi pada pukul 07:00. Penulis memang mengharapkan keberangkatan sesuai jadwal namun yah keberangkatan tertunda sekitar 1 jam lebih karena menunggu peserta yang belum hadir. Marilah kita cukupkan sampai disana tentang hal itu, sekalipun saja time is priceless. Yah, pada akhirnya rombongan kami berangkat juga menggunakan bis.

Untungnya, bis yang disediakan pantia nyaman karena ber-AC. Penulis tidak dapat menggambarkan perjalanan ke tempat tujuan karena tak berapa lama setelah bis berjalan, jujur saja, penulis tertidur. Penulis terbangun saat kira-kira 20 menit sebelum tiba di tempat tujuan. Kiri-kanan jalan meskipun masih beraspal sudah banyak terlihat perkebunan salak. Tak lama kemudian kami sampai juga di Tlatar Kandangan.

Kami disambut oleh Menteri Pengembangan Desa Mitra yaitu Rizqi Prasetiawan (Mas Pras) dan perwakilan dari pihak desa yaitu Ari (Mas Ari). Rombongan diajak untuk bersantai sejenak di tempat transit, kami dijamu dengan salak. Mas Pras memberikan penjelasan bahwa alasan kegiatan pada hari tersebut dinamakan Familiarization Trip karena maksud dari kegiatan tersebut adalah untuk ‘memfamiliarkan’ nama Tlatar Kandangan sebagai lokasi Eco-Tourism. Bukan hanya untuk mengenalkan (to introduce) bukan pula sebuah perjalanan keluarga (family trip).

Suasana di tempat transit.
Suasana di tempat transit.
Gapura kampung Tlatar Kandangan.
Gapura kampung Tlatar Kandangan yang kami lewati saat menuju tempat upacara dilangsungkan.

Mas Ari menjelaskan bahwa kami akan dipandu untuk menghadiri upacara sebelum pawai keliling Tlatar Kandangan. Nah, rombongan bergabung dengan penduduk setempat untuk mengikuti upacara pembukaan sebelum parade dimulai. Rombongan juga dijamu dengan penganan khas hasil palawija dan teh manis hangat sambil menyaksikan penampilan tari dengan iringan tetabuhan gamelan.

Penampilan tari tradisional.
Penampilan tari tradisional.
Nayaga yang bertugas akan gamelan.
Nayaga yang bertugas akan gamelan.
Suasana rombongan yang berbaur dengan warga setempat.
Suasana rombongan yang berbaur dengan warga setempat.

Ada yang menarik dalam rangkaian upacara ini, yaitu pembacaan kisah sejarah asal mula nama Tlatar Kandangan. Syahdan, penulis kurang mampu menangkap keseluruhan cerita karena dikisahkan memakai bahasa Jawa. Namun, secara garis besar terdapat pemberontakan yang berlokasi di Tlatar Kandangan sehingga Panembahan Senapati mengadakan sayembara dan seterusnya. Pun, diungkapkan pula asal nama Tlatar Kandangan, yang juga disampaikan dalam bahasa Jawa. Penulis rasa, apabila nanti kisah ini ditampilkan secara teatrikal atau dengan menggunakan media wayang, mungkin akan lebih menarik.

6

7

8

10

11121314

Gunungan yang akan di'grubug'.
Gunungan yang akan di’grubug’.

Setelah melakukan pawai keliling kampung, kegiatan dilanjutkan dengan berebut hasil bumi yang dijadikan gunungan. Yah, mirip dengan Sekaten yang diadakan Kraton Yogyakarta. Lalu, rombongan bersama masyarakat setempat makan bersama, lesehan. Makan dengan cara lesehan seperti ini sudah menjadi adat di etnis Jawa maupun Sunda sebagai tanda guyub. Sejujurnya, makanan yang disediakan tidak habis, separuhnya saja mungkin tidak (sekalipun sudah beberapa kali tambah).

Sungguh banyak sekali bukan?
Sungguh banyak sekali bukan?

1718192021

Rombongan kembali diarahkan ke tempat transit usai makan siang. Lalu, ada sambutan (yang sangat telat) dari Ali Zaenal (Presma BEM KM UGM 2016). Namun, ada yang menarik dari sambutan Mas Ali ini, ia berpendapat bahwa peradaban suatu bangsa tidak hanya dilihat dari perkembangan kotanya, tapi bahwa peradaban suatu bangsa juga dibangun dari desanya. Pemikiran yang sedikit berbeda dengan pepatah lama bahwa jika kita ingin melihat kemajuan peradaban suatu bangsa, maka lihat kotanya. Well, mari hentikan sejenak pembahasan hal itu.

Bincang-bincang dengan pihak perwakilan kampung dan pelopor eco-tourism di Tlattar Kandangan.
Bincang-bincang dengan pihak perwakilan kampung dan pelopor eco-tourism di Tlattar Kandangan.

Mas Pras (lagi-lagi) mengungkapkan bahwa ada staf dari Kementerian PDM yang bolak-balik ke Tlatar Kandangan dalam seminggu itu bisa 3 kali. Penuturan dari Mas Pras ini mengingatkan penulis pada perkatan Tan Malaka, cuma manusia pengecut atau curang yang tiada inign melakukan pekerjaan yang berat, tetapi bermanfaat buat masyarakat sekarang dihari kemudian itu. Kesibukan sebagai mahasiswa, penulis kira tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus bekerja.

Siang itu, perwakilan dusun turut memberikan sambutan. Beliau mengatakan bahwa awalnya para pemuda kampung, apalagi sedikit (kurang dari 1000 meter persegi) itu sering lebih memilih untuk merantau ke kota untuk bekerja di pabrik atau di bidang konstruksi. Meski bukan berarti merantau itu tidak baik. Merantau membuat pikiran kita lebih terbuka, namun tetap ada waktu kita mesti pulang dan membangun tanah sendiri.

Mas Ari, pelopor Eco-Tourism kampung Tlatar Kandangan ini memaparkan bahwa salak pondoh itu panen dua kali dalam setahun biasanya. Sekitar bulan Juli dan bulan November-Desember. Hasilnya tentu banyak salak menumpuk, akibatnya, mengikuti hukum klasik ekonomi ceteris paribus unum a.k.a hukum supply and demand, maka harga salak perkilogramnya dapat begitu rendah, mencapai 3000 – 5000 rupiah perkilogram. Hal ini tentu menjadi pukulan tersendiri bagi masyarakat setempat. Sehingga, konsep eco-tourism ini menjadi salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut.

Konsep eco-tourism ini selain sebagai solusi bagi masalah yang timbul karena turunnya harga salak, turut mempertimbangkan kondisi lingkungan. Penulis yakin setiap lokasi wisata memiliki jumlah kapasitas tertentu. Nah, apabila kita melewati nilai kapasitas ini, maka akan mengancam kelestarian lingkungan itu sendiri.

Mas Ari juga menyebutkan apabila ada dari mahasiswa yang ingin melaksanakan penelitian, tentu masyarakat akan menerima dengan tangan terbuka. Seperti ada observasi yang dilakukan salah satu pelajar di sana bahwa getah pohon salak bisa dijadikan pengawet. Namun, belum diadakan penelusuran lebih lanjut karena biasanya getahnya itu dijadikan disinfektan apabila tertusuk duri salak.

Kembali ke rangkaian kegiatan rombongan FamTrip. Acara yang dilakukan adalah trekking. Nah, rombongan peserta dibagi dua kloter, kloter 1 mencoba trekking dulu baru melakukan demo pengolahan salak. Nah, sedangkan kloter 2 justru sebaliknya. Penulis berada di kloter 2, teman penulis satu prodi di kloter 1. Segera setelah pembagian dilakukan, peserta yang terdapat dalam kloter 1 menuju ke luar, peserta di kloter 2 akan menyaksikan demo pengolahan salak.

Ada dua ibu-ibu yang memperagakan demo, satu akan membuat wajit salak, ibu yang lain akan membuat kopi salak dan adonan kerupuk salak. Nah, kebetulan karena posisi penulis duduk saat itu terdekat dengan ibu yang sedang mengolah salak menjadi wajit, maka penulislah yang sepertinya harus membantu ibu tersebut. Menurut pengalaman penulis, lebih baik mengolah adonan wajit di awal saja karena jika diakhir-akhirkan pasti nanti adonannya semakin lengket.

Demo Pengolahan Salak

Pembutan wajit salak, agak berbeda dengan wajit labu yang dulu pernah penulis buat di kampong halaman. Nah, untuk membuat wajit salak, ternyata setelah daging salak dipisahkan dengan bijinya, daging salak dikukus agar kadar airnya berkurang lalu dihaluskan dengan cara diblender. Daging salak yang sudah halus dimasukkan ke dalam wajan, lalu dicampur dengan gula dan parutan kelapa. Adonan terus diaduk perlahan dengan api yang kecil. Pengadukan ini wajib, karena jika tidak, adonan akan wajib. Hasil wajit salak kloter 2 memang tidak gosong, namun terlalu kering sehingga sulit dibentuk. Ibu yang memandu demo mengatakan bahwa ia sebelumnya belum pernah membuat wajit dengan kompor gas karena sebelumnya selalu dengan tungku bahan bakar kayu. Namun, saat penulis melihat hasil dari kloter 1, sukses dibentuk balok.

Pembuatan kopi salak itu bahan baku utamanya adalah ketos (biji) salak yang belum atos (keras). Biji salak dijemur kemudian dipotong empat agar bentuknya lebih teratur sehingga lebih mudah saat digiling. Biji yang telah dipotong disangrai dengan api kecil, lalu ditumbuk, dan digiling. Saat itu kami belum sempat membuat hingga jadi, namun kami sempat mencoba minuman kopi tersebut. Kopi salak tidak dimaksudkan untuk membuat kita begadang, namun cenderung untuk minuman kesehatan. Sampai saat itu, perniagaannya masih dalam bentuk perdagangan online karena bukan merupakan mata pencaharian utama. Produk olahan salak lainnya adalah kerupuk salak. Nah, dalam pembuatan kerupuk salak ini prosesnya penulis kurang paham, karena saat itu terlalu fokus mengaduk adonan wajit salak (pembuatan wajit salak dan dua macam olahan salak lainnya dilakukan secara bersamaan).

Trekking

Usai shalat Ashar, peserta yang termasuk kloter 2 giliran mencoba jalur trekking. Penulis dari awal sengaja mengenakan sandal gunung karena berspekulasi akan ada kegiatan trekking. Maka, apabila berkunjung ke Tlatar Kandangan dan berniat untuk menempuh jalur trekking-nya, disarankan untuk memakai sandal gunung atau sepatu olahraga. They would help you, really. Namanya juga trekking alias berjalan jauh ‘kan? Hehehehe.

Kondisi cuaca saat trekking memang gerimis sepanjang perjalanan. Udara segar dan jalur trekking yang menantang, dilengkapi dengan beberapa tempat yang dapat dijadikan ‘pos’, sangat cocok sebagai tempat makrab lembaga.

Ini tempat yang penulis sebut 'bendungan kecil'.
Ini tempat yang penulis sebut ‘bendungan kecil’.

24

Selain melewati satu bendungan kecil dimana menjadi tempat pertemuan dua anak sungai. Juga terdapat satu bendungan yang besar juga cukup deras arusnya. Nah, dekat bendungan besar tersebut ada semacam saluran air yang cukup dalam, penulis tidak ikut berenang namun penulis perkirakan dalamnya mencapai sekitar 2 meter. Apabila kawan ingin mencapai dataran kecil di bendungan besar ini, kita harus melewati celah sempit (mesti hati-hati benar). Namun, suasana di dataran kecil dekat bendungan itu benar-benar seru. Suara derasnya air terasa sangat sejuk di telinga.

25

Inilah bendungan besar.
Inilah bendungan besar.

27

Nah, selanjutnya kami melanjutkan perjalanan lagi. Well, mengingat tadi kami turun cukup jauh untuk mencapai sungai, ya wajar saja kalau perjalanan pulang ini cukup membuat penulis harus pandai-pandai mengatur napas.

Sesampainya kami di tempat transit, peserta dari kloter 1 sedang mengisi kuisioner, penulis sendiri sejujurnya tidak mengisi kuisioner karena diajak membuat video testimoni. Nah, di akhir acara, setiap peserta diberikan souvenir yaitu kerupuk salak, bubuk kopi salak, dan wajit salak. Selepas waktu magrib, kami kembali naik bis untuk menuju ke UGM. Oh ya, satu lagi yang menjadi keunggulan dusun Tlatar Kandangan ini, terdapat jalan mengarah ke utara, dan apabila cuaca cukup bersahabat, maka kita akan memperoleh pemandangan yang jelas sekali ke Gunung Merapi.

2829

30

.

Apabila kawan tertarik untuk mengadakan acara di Tlatar Kandangan, brosur resminyanya dapat kawan unduh disini.

Komentar personal

Pada 15 Desember 2016, penulis sempat menghadiri diskusi public sekaligus launching buku Catatan Akhir Tahun 2016 dari LBH Yogyakarta di convention hall Gedung BB Fisipol UGM. Turut hadir pada kesempatan tersebut seorang pengacara yang berkonsentrasi di bidang agrarian, Siti Rakhma Mary H. Beliau menyebutkan bahwa pada tahun 2017 terdapat UU Reforma Agraria.

Peraturan ini merupakan wujud dari kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo mengenai daerah pedesaan. Masyarakat dapat mengusulkan untuk menggunakan sejumlah lahan pemerintah untuk digarap. Pemerintah akan mendampingi mulai dari penanaman, sampai pemasaran yang dapat diwujudkan dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa ataupun koperasi.

Pemerintah membebaskan akan ditanami apa selama tidak melanggar aturan (bisa jagung, palawija, padi, dsb.). Desa yang dikembangkan nanti bermacam-macam, disesuaikan dengan kondisi geografis dari lokasi desa. Apabila memang dekat lokasi perkebunan, maka dijadikan desa perkebunan. Apabila terletak di dekat bibir pantai maka dapat masuk kategori desa pesisir.

Penulis menyarankan agar pada masa bakti pengurus BEM KM UGM 2017, Kementerian Pengembangan Desa Mitra tetap diadakan. Sekalipun dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan Advokasi untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai Reforma Agraria tersebut.

Penulis ingin mengutip perkataan salah legenda revolusi yang bagi penulis masih terlalu lurus punggungnya untuk dituruti secara utuh -Tan Malaka- dalam salah satu buku beliau, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” Mahasiswa bukan hanya memiliki kewajiban untuk belajar dibalik dinding-dinding kelas, ia juga memiliki tanggung jawab untuk turut membangun masyarakat.

Kawan masih ingat pendapat Mas Ali di awal tulisan ini? Penulis kira, mungkin keadaan di perkotaan dapat dijadikan salah satu faktor tolok ukur peradaban suatu bangsa, namun, apabila melupakan sama sekali pembangunan desa, penulis kira tidak. Pedesaan memiliki karakter dan caranya sendiri untuk turut memajukan peradaban, ingatlah sesungguhnya padi tumbuh tidak berisik.

Sekali lagi, penulis ingin menekankan bahwa penulis tidak memaksa kawan untuk sepakat dengan apa yang penulis tuliskan. Jika kawan tidak sepakat ya sudah, tak usah diperpanjang dengan pertengkaran, setidaknya kita sepakat bahwa kita tidak sepakat. Selamat tahun baru.

 

Tabik.

 

Dokumentasi: sumber dari panitia FamTrip, Ahmad Ariefudin, Liza, Imta Vivi Variyani, dan dokumentasi pribadi penulis.

*Tulisan ini penulis dedikasikan untuk panitia dari Kementerian Pengembangan Desa Mitra BEM KM UGM 2016 beserta para peserta FamTrip 2016 yang kocak dan seru; tanpa kalian, tulisan ini mungkin tak akan pernah ada.

Ditulis oleh Viny Alfiyah, mahasiswa Kimia 2015, masih senang ngopi dan makan nasi, jadi tentu penulis masih ada kemungkinan untuk melakukan kesalahan dalam penulisan artikel ini, maka penulis akan sangat menghargainya jika kawan mau berdiskusi dengan penulis agar penulis dapat menjadi pribadi dan manusia yang lebih baik lagi.

Pendidikan: Bukan Bara Biasa

Peristiwa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan hasil dari persatuan sebuah bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Akan tetapi, peristiwa proklamasi tersebut adalah salah satu buah dari apa yang ditanam puluhan tahun sebelumnya. Sebuah peristiwa yang dapat dianggap sebagai titik balik perjuangan bangsa Indonesia, yaitu Sumpah Pemuda.

Delapan dekade lebih telah berlalu sejak peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Selama kurun waktu itu pula para pemuda di Indonesia selalu meninggalkan jejaknya dari masa ke masa, mulai dari rezim Orde Lama, Orde Baru, krisis moneter 1998, masa reformasi, hingga saat ini. Sumpah yang telah diucapkan para pemuda pada 28 Oktober 1928 masih berlaku untuk saat ini dan di masa yang akan datang. Sumpah tersebut merupakan ikrar, suatu janji yang dengan penuh tekad harus kita lakukan.

Ilmu Pengetahuan dan Pemuda

Suatu waktu, Anies Baswedan, yang kini menjabat sebagai Mendikdasmen, pernah mengungkapkan bahwa kekayaan terbesar sebuah bangsa adalah manusianya, bukan sumber daya alamnya. Sumber daya alam memang memberikan potensi yang sangat tinggi untuk kemajuan suatu bangsa. Namun, jika kekayaan sumber daya alam itu tidak diiringi oleh ‘kayanya’ sumber daya manusianya, bukan tidak mungkin suatu bangsa akan menjadi kuli di tanahnya sendiri. Lagipula, sumber daya alam berbanding terbalik dengan sumber daya manusia. Sumber daya alam lama-kelamaan akan habis, sedangkan sumber daya manusia lama-kelamaan malah akan semakin kaya.

Nah, salah satu faktor pendukung terbentuknya kekayaan sumber daya manusia adalah pendidikan. Pendidikan memungkinkan manusia untuk berperilaku lebih baik karena telah memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang dilakukannya. Pendidikan sendiri termasuk kata benda yang memiliki makna “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara perbuatan mendidik”. Atau, seperti yang mendiang Pramoedya Ananta Toer ungkapkan, bahwa pendidikan seharusnya adalah proses memanusiakan manusia.

Proses pendidikan, yaitu dengan cara mendidik, memiliki arti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Proses ini tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat karena pendidikan bukan hanya melatih manusia dalam berpikir dan memecahkan masalah, namun juga melatih kepekaan manusia untuk peduli dengan makhluk lainnya yang telah diciptakan oleh Tuhan. Dalam bukunya yang berjudul Madilog, Tan Malaka menulis, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.”

Ilmu pengetahuan memang penting, tetapi dalam hal ini karakter pemuda yang memiliki ilmu pengetahun itu jauh lebih penting. Kaum muda yang telah diberikan kesempatan untuk belajar ilmu pengetahuan, baik itu di sekolah tinggi negeri ini atau bahkan sampai merantau ke tanah seberang, mereka harus mampu melebur dengan masyarakat yang setiap harinya bergelut dengan cangkul dan debu yang hanya memiliki cita-cita sederhana. Jika hal itu tidak kita lakukan, untuk apa kita selama ini, berlelah-lelah diri belajar untuk masuk ke sekolah tinggi dengan akreditasi yang bagus?

Ilmu Pengetahuan dan Nasionalisme

Di era globalisasi ini, interaksi dengan bangsa-bangsa lain tidak akan terhindarkan. Apalagi pada akhir 2015 nanti, perjanjian Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) mulai berlaku. Pengetahuan dan kemampuan berinteraksi dengan bangsa lain menjadi hal yang penting untuk dimiliki. Hal tersebut mencakup kemampuan berbahasa, terutama bahasa Inggris, yang sebisa mungkin kaum muda harus memilikinya.

Ada anggapan bahwa dengan belajar bahasa Inggris akan mengurangi rasa nasionalisme kita. Namun, hal itu bukanlah anggapan yang tepat karena bahasa Inggris bukanlah bahasa asing. Dalam sebuah lokakarya yang pernah penulis ikuti, I Made Andi Arsana, yang menjabat sebagai Kepala Kantor Hubungan Luar Negeri di UGM pernah berkata, “Bahasa Inggris bukanlah bahasa asing, melainkan merupakan bahasa internasional karena kita hidup di sebuah tempat bernama Global Village (Kampung Global).”

Lagipula, bahasa Inggris tidak serta-merta menjadi bahasa internasional. Ada sebuah perjalanan panjang yang terangkum dalam sejarah manusia di bumi ini yang mengantarkan bahasa Inggris menjadi bahasa internasional. Poin terpenting dalam berbahasa adalah konsisten ketika berbicara dalam satu bahasa, tidak banyak mencampuradukkan kata-kata dalam bahasa yang berbeda. Sebagai contoh, jika kita berbicara ataupun menulis dalam bahasa Indonesia, upayakanlah sebaik-baiknya untuk 100% menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, apalagi saat berhadapan dengan sesama penutur bahasa Indonesia.

Kembali pada persoalan nasionalisme, kuatnya sikap nasionalis biasanya lebih banyak muncul karena pengetahuan akan sejarah, keyakinan-keyakinan pribadi, dan pengalaman hidup pribadi yang terjadi selama bertahun-tahun. Penguasaan bahasa yang disinggung di atas adalah sebagai alat bantu untuk menunjukkan sikap nasionalis tersebut.

Tantangan Pemuda Saat Ini

Ada beberapa tantangan yang mesti diatasi oleh pemuda saat ini, di antaranya adalah penguasa yang korup, pengusaha yang oportunis, dan kaum intelektual yang apatis. Ketiga hal tersebut dapat menjadi penyebab jatuhnya suatu negara. Maka, pemuda Indonesia mesti bersatu-padu untuk menjalankan proses pendidikan sebaik-baiknya, agar kemunculan ketiga hal tersebut dapat dicegah dan diberantas keberadaannya.

Pemuda tidak bisa hanya menjadi bara biasa yang berkelap-kelip hampir mati dalam tumpukan sekam, namun pemuda mesti menjadi bara dalam sekam yang berjuang untuk menularkan bara semangat perjuangan. Sekalipun dalam prosesnya mesti mati, setidaknya sisa abu sekamnya akan menyuburkan tanah persawahan, yang akan bermanfaat bagi generasi yang selanjutnya di masa depan. Jika ada perbedaan pendapat, biarlah seperti itu, jangan sampai perbedaan itu menjadikan perpecahan.

Terakhir, izinkan penulis menutup tulisan pendek ini dengan nukilan puisi yang ditulis oleh penyair W.S. Rendra.

Kesadaran adalah matahari.

Kesabaran adalah bumi.

Keberanian adalah cakrawala

Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

Catatan: Artikel ini dimuat dalam rubrik Pendidikan pada Majalah Online 1000guru edisi 55, Vol.3, No.10, (ISSN 2338-1991)

Bahan bacaan:

  • Malaka, Tan. 1951. Madilog. Jakarta: Terbitan Widjaja.

Aku Menulis-Aku Eksis

‘Kau tahu mengapa kucinta kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis.’- Pramoedya Ananta Toer

                Ketika kita membicarakan budaya menulis, maka hal itu tidak akan jauh-jauh dari budaya membaca. Ketika kita membicarakan tentang kepenulisan, maka kegiatan membaca adalah suatu keniscayaan. Saya berani mengatakan, tidak ada satu pun penulis yang mampu menulis tanpa membaca, kalaupun ada, rasa-rasanya hal itu sangat jarang terjadi. Seperti apa yang dicatatkan Tan Malaka, the Founding Father of Indonesia yang menulis buku Naar de Republiek Indonesia, dalam buku beliau yang berjudul Madilog, “Sudah tentu seorang pengarang atau penulis manapun juga dan berapaun juga adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham, bahkan musuhnya sendiri, (Malaka, 1951).”

                Mengapa dengan membaca kita akan sedikit terbantu ketika menulis? Pada dasarnya, menurut penulis, kegitatan membaca membuat kita berpikir dan lambat laun akan timbul hasrat untuk menulis. Dengan mmebaca, kita jadi mengetahui pandangan terhadap suatu hal dari berbagai perspektif, karena latar belakang penulis dari suatu karya terkadang mempengaruhi sekali gaya kepenulisan yang dimilikinya. Jujur saja, dulu saya termasuk orang yang cenderung mengabaikan unsur ekstrinsik suatu karya berbentuk tulisan, salah satunya yaitu latar belakang penulis. Namun setelah dipikir ulang, ternyata anggapan saya itu salah. Seorang teman pernah berkomentar bahwa jika saya ingin membaca buku tentang teori seleksi alam, ia lebih menyarankan untuk membaca edisi dua volume The Malay Archipelago dari Alfred Russel Wallace daripada The origin of Species by means of Natural Selection (The Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life) yang ditulis oleh Charles Darwin, yang merupakan sahabat dekat Wallace sendiri. Bukan karena Darwin meneliti di Galapagos dan Wallace di Kepulauan Indonesia, tapi gaya kepenulisan Wallace yang terkesan sebagai sebuah catatan perjalanan (traveling) ilmiah, membuat kita seakan-akan dibawa berjalan-jalan di Indonesia tempo dulu, sedangkan gaya kepenulisan Darwin benar-benar sebagaimana laporan penelitian berbentuk buku pada umumnya. Meski subjek penelitian mereka sama yang mengantarkan mereka pada teori yang sama dalam kurun waktu hampir bersamaan.

Menulis=Eksis

                Bagi penulis pribadi, menulis adalah salah satu sarana untuk mengeksiskan diri. Saya ada karena saya berkarya, terutama dalam bentuk tulisan. Ketika saya tidak berkarya, maka keberadaan saya itu tak lebih dari sekedar ide belaka. Mungkin bagi pembaca, menulis memiliki makna lain, tapi tak mengapa, jika itu terjadi berarti kita sepakat kalau kita tidak sepakat. Meski, jika dilihat dari jumlah jurnal ilmiah yang telah memiliki akreditasi dari LIPI dan akreditasi dari Dikti itu masih relatif kurang. Saat ini (per 6 September 2015), jurnal ilmiah yang mengantongi akreditasi LIPI berjumlah 135 dari berbagai bidang, baik itu Saintek maupun Soshum. Sedangkan yang memiliki akreditasi dari Dikti saja sudah berjumlah hampir dua kali lipatnya, yaitu sebanyak 245.

                Sekilas, angka-angka itu terasa besar, namun jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa Indonesia yang sedang aktif saat ini berjumlah 4,390,271 orang (dengan 113,724 orang dari Fakultas MIPA), jumlah keseluruhan jurnal per jumlah mahasiswa bahkan tidak mencapai satu persen pun. Bahkan, jumlah mahasiswa di Indonesia pun belum mencapai target Angka Partisipasi Kasar (APK) pemerintah pada 2014 lalu yang mencanangkan jumlah mahasiswa terhadap populasi usia 19-30 tahun itu 30% atau sekitar 6,2 juta jiwa.

                Lantas bagaimana dengan kita? Akankah kita menjadi mahasiswa yang produktif berkarya? Terutama dalam hal menulis? Saya tidak tahu, hanya saja saya berharap semoga Tuhan memberikan karunia dan kesempata bagi kita untuk mampu menjadi mahasiswa yang produktif menulis.

Referensi:

Dikti, n.d., Grafik Jumlah Mahasiswa Aktif Berdasarkan Kelompok Bidang, dilihat 6 September 2015 dari forlap.dikti.go.id

Kompas.com. 26 Maret 2011. Mahasiswa di Indonesia Cuma 4,8 Juta, dilihat 10 September 2015 dari kompas.com

LIPI, n.d, Daftar Jurnal Hasil Akreditasi DIKTI, dilihat 6 September 2015 dari jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php//Daftar-Jurnal-Hasil-Akreditasi-DIKTI/Page-10.html

Ibid, n.d, Daftar Jurnal Ilmiah Akreditasi-LIPI, dilihat 6 September 2015 dari jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Daftar-Jurnal-Ilmiah-Akreditasi-LIPI/Hal-6.html

Selarik Sejarah Nama Indonesia

Sumber gambar: garuda-furniture.com
Sumber gambar: garuda-furniture.com

“What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi).

Begitulah kira-kira kutipan dialog yang mengisahkan drama cinta Romeo dan Juliet karya William Shakespeare. Shakespeare tidak bermaksud menyepelekan arti sebuah nama, maksud Shakespeare pada dialog tersebut akan lebih logis jika ditafsirkan bahwa untuk apa arti sebuah nama (Capulet, nama keluarga Juliet) jika hanya menimbulkan perselisihan antara dua keluarga, bukan malah membawa kebaikan.

Nama Indonesia sendiri, ternyata memiliki sejarah yang cukup panjang. Jika ditengok ke belakang, berawal dari abad ke-19, nama Indonesia tidak terlepas dari anggapan awal bangsa Eropa yang mengira bahwa semua wilayah yang terbentang antara Persia dan Tiongkok disebut Hindia, daerah Asia Selatan disebut Hindia Muka dan Asia Tenggara disebut Hindia Belakang, dan kepulauannya disebut Kepulauan Melayu. Wilayah Kepulauan Melayu ini berganti menjadi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda), dimana dalam hal ini Belanda mengikuti Inggris yang pada masa itu menjajah India dan menamakan wilayah India sebgai British-Indie. Multatuli, atau lebih dikenal sebagai Eduard Douwes Dekker pernah menggunakan nama Insulinde yang dalam bahasa Latin “insula” artinya pulau, yang merujuk pada kepulauan Indonesia.

Pada tahun 1850, George Samuel Windsor Earl, dalam majalah ilmiah tahunan JIAEA volume IV, mengemukakan bahwa masyarakat yang tinggal di Kepulauan Melayu harus memiliki ciri khusus, diantaranya nama khusus yang dapat digunakan untuk merujuk langsung pada orang yang tinggal di Kepulauan Melayu tanpa harus menimbulkan ambigu. Earl pun mengajukan dua nama, yaitu Indunesia atau Malayunesia (“nesos” dalam bahasa Yunani artinya “pulau”). Meski dalam edisi yang sama, James Richardson Logan dalam tulisannya yang berjudul The Ethnology of the Indian Archipelago menganggap bahwa nama “Kepulauan Indonesia” itu terlalu panjang untuk diucapkan, cukup dengan mengucapkan Indonesia saja, meski cakupan wilayah yang dimaksud oleh Logan saat itu adalah dari Sumatra hingga Formosa (Taiwan).

Kata Indonesia ini menjadi terkenal di kalangan akademisi Eropa setelah Adolf Bastian, menulis sebuah buku dengan judul Indonesien oder die Inseln des Malaysichen Archipels. Penggunaan kata Indonesia oleh orang Indonesia sendiri dimulai oleh Ki Hajar Dewantara yang menggunakan nama Indonesisch (kata Indonesia dalam bahasa Belanda) ketika beliau dibuang ke Belanda.

Di Indonesia sendiri, penggunaan kata Indonesia yang merujuk Kepulauan Indonesia mulai umum digunakan sekitar tahun 1920-an. Seperti nama organisasi yang didirikan Dr. Sutomo pada tahun 1924 yang bernama Indonesische Studie Club, Perserikatan Komunis Hindia pun berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia, dan pada 1925 terbentuk organisasi National Indonesische Padvinderij (Natipij). Hingga akhirnya, pada tanggal 28 Oktober 1928, pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia menyatakan nama “Indonesia” sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa. Peristiwa inilah yang kini kita kenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.

Nama negara, boleh jadi bukan orang Indonesia ‘asli’ yang memberikan, tapi itu tidak seharusnya mengurangi rasa nasionalisme dan kesetiaan kita sebagai warga negara Republik Indonesia.

Referensi:

Hutagalung, Batara R., 2006, ‘Asal-usul Kata “INDONESIA”‘, di Gagasan Nusantara, dilihat 16 Oktober 2015, dari batarahutagalung.blogspot.com/2006/03/asal-usul-kata-indonesia.html.

Iqbal, T.M. Dhani, 2011, ‘Menapaki Nama Indonesia’, di Lentera Timur, dilihat 16 Oktober 2015, dari http://www.lenteratimur.com/menapaki-nama-indonesia/.