Pendidikan: Bukan Bara Biasa

Peristiwa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan hasil dari persatuan sebuah bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Akan tetapi, peristiwa proklamasi tersebut adalah salah satu buah dari apa yang ditanam puluhan tahun sebelumnya. Sebuah peristiwa yang dapat dianggap sebagai titik balik perjuangan bangsa Indonesia, yaitu Sumpah Pemuda.

Delapan dekade lebih telah berlalu sejak peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Selama kurun waktu itu pula para pemuda di Indonesia selalu meninggalkan jejaknya dari masa ke masa, mulai dari rezim Orde Lama, Orde Baru, krisis moneter 1998, masa reformasi, hingga saat ini. Sumpah yang telah diucapkan para pemuda pada 28 Oktober 1928 masih berlaku untuk saat ini dan di masa yang akan datang. Sumpah tersebut merupakan ikrar, suatu janji yang dengan penuh tekad harus kita lakukan.

Ilmu Pengetahuan dan Pemuda

Suatu waktu, Anies Baswedan, yang kini menjabat sebagai Mendikdasmen, pernah mengungkapkan bahwa kekayaan terbesar sebuah bangsa adalah manusianya, bukan sumber daya alamnya. Sumber daya alam memang memberikan potensi yang sangat tinggi untuk kemajuan suatu bangsa. Namun, jika kekayaan sumber daya alam itu tidak diiringi oleh ‘kayanya’ sumber daya manusianya, bukan tidak mungkin suatu bangsa akan menjadi kuli di tanahnya sendiri. Lagipula, sumber daya alam berbanding terbalik dengan sumber daya manusia. Sumber daya alam lama-kelamaan akan habis, sedangkan sumber daya manusia lama-kelamaan malah akan semakin kaya.

Nah, salah satu faktor pendukung terbentuknya kekayaan sumber daya manusia adalah pendidikan. Pendidikan memungkinkan manusia untuk berperilaku lebih baik karena telah memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang dilakukannya. Pendidikan sendiri termasuk kata benda yang memiliki makna “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara perbuatan mendidik”. Atau, seperti yang mendiang Pramoedya Ananta Toer ungkapkan, bahwa pendidikan seharusnya adalah proses memanusiakan manusia.

Proses pendidikan, yaitu dengan cara mendidik, memiliki arti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Proses ini tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat karena pendidikan bukan hanya melatih manusia dalam berpikir dan memecahkan masalah, namun juga melatih kepekaan manusia untuk peduli dengan makhluk lainnya yang telah diciptakan oleh Tuhan. Dalam bukunya yang berjudul Madilog, Tan Malaka menulis, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.”

Ilmu pengetahuan memang penting, tetapi dalam hal ini karakter pemuda yang memiliki ilmu pengetahun itu jauh lebih penting. Kaum muda yang telah diberikan kesempatan untuk belajar ilmu pengetahuan, baik itu di sekolah tinggi negeri ini atau bahkan sampai merantau ke tanah seberang, mereka harus mampu melebur dengan masyarakat yang setiap harinya bergelut dengan cangkul dan debu yang hanya memiliki cita-cita sederhana. Jika hal itu tidak kita lakukan, untuk apa kita selama ini, berlelah-lelah diri belajar untuk masuk ke sekolah tinggi dengan akreditasi yang bagus?

Ilmu Pengetahuan dan Nasionalisme

Di era globalisasi ini, interaksi dengan bangsa-bangsa lain tidak akan terhindarkan. Apalagi pada akhir 2015 nanti, perjanjian Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) mulai berlaku. Pengetahuan dan kemampuan berinteraksi dengan bangsa lain menjadi hal yang penting untuk dimiliki. Hal tersebut mencakup kemampuan berbahasa, terutama bahasa Inggris, yang sebisa mungkin kaum muda harus memilikinya.

Ada anggapan bahwa dengan belajar bahasa Inggris akan mengurangi rasa nasionalisme kita. Namun, hal itu bukanlah anggapan yang tepat karena bahasa Inggris bukanlah bahasa asing. Dalam sebuah lokakarya yang pernah penulis ikuti, I Made Andi Arsana, yang menjabat sebagai Kepala Kantor Hubungan Luar Negeri di UGM pernah berkata, “Bahasa Inggris bukanlah bahasa asing, melainkan merupakan bahasa internasional karena kita hidup di sebuah tempat bernama Global Village (Kampung Global).”

Lagipula, bahasa Inggris tidak serta-merta menjadi bahasa internasional. Ada sebuah perjalanan panjang yang terangkum dalam sejarah manusia di bumi ini yang mengantarkan bahasa Inggris menjadi bahasa internasional. Poin terpenting dalam berbahasa adalah konsisten ketika berbicara dalam satu bahasa, tidak banyak mencampuradukkan kata-kata dalam bahasa yang berbeda. Sebagai contoh, jika kita berbicara ataupun menulis dalam bahasa Indonesia, upayakanlah sebaik-baiknya untuk 100% menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, apalagi saat berhadapan dengan sesama penutur bahasa Indonesia.

Kembali pada persoalan nasionalisme, kuatnya sikap nasionalis biasanya lebih banyak muncul karena pengetahuan akan sejarah, keyakinan-keyakinan pribadi, dan pengalaman hidup pribadi yang terjadi selama bertahun-tahun. Penguasaan bahasa yang disinggung di atas adalah sebagai alat bantu untuk menunjukkan sikap nasionalis tersebut.

Tantangan Pemuda Saat Ini

Ada beberapa tantangan yang mesti diatasi oleh pemuda saat ini, di antaranya adalah penguasa yang korup, pengusaha yang oportunis, dan kaum intelektual yang apatis. Ketiga hal tersebut dapat menjadi penyebab jatuhnya suatu negara. Maka, pemuda Indonesia mesti bersatu-padu untuk menjalankan proses pendidikan sebaik-baiknya, agar kemunculan ketiga hal tersebut dapat dicegah dan diberantas keberadaannya.

Pemuda tidak bisa hanya menjadi bara biasa yang berkelap-kelip hampir mati dalam tumpukan sekam, namun pemuda mesti menjadi bara dalam sekam yang berjuang untuk menularkan bara semangat perjuangan. Sekalipun dalam prosesnya mesti mati, setidaknya sisa abu sekamnya akan menyuburkan tanah persawahan, yang akan bermanfaat bagi generasi yang selanjutnya di masa depan. Jika ada perbedaan pendapat, biarlah seperti itu, jangan sampai perbedaan itu menjadikan perpecahan.

Terakhir, izinkan penulis menutup tulisan pendek ini dengan nukilan puisi yang ditulis oleh penyair W.S. Rendra.

Kesadaran adalah matahari.

Kesabaran adalah bumi.

Keberanian adalah cakrawala

Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

Catatan: Artikel ini dimuat dalam rubrik Pendidikan pada Majalah Online 1000guru edisi 55, Vol.3, No.10, (ISSN 2338-1991)

Bahan bacaan:

  • Malaka, Tan. 1951. Madilog. Jakarta: Terbitan Widjaja.