Perih masih terasa di mata,
dan pening masih lekat di kepala
Sisa semalaman terjaga
Kala langkah menjejak lantai dingin,
stasiun, pelabuhan, atau bandara
Ada jarak yang membuat peluk,
menjadi hal yang pelik
Ada khawatir dalam diri,
manakala ragam pertanyaan ‘kapan’ terus menghantui
Ada perdebatan yang tak kunjung usai,
tentang apa yang harus didahulukan
Sesaat berkelebat kilasan jiwa-jiwa baik,
yang pernah tersakiti
Pemberani, adalah mereka yang sanggup mengakui
Namun ksatria, adalah mereka yang mampu memaafkan dengan rela
Ada harapan yang bersiuran,
takdir yang bersimpangan,
permohonan yang harus disampaikan,
Dan doa yang mesti dipanjatkan.
Ketika roda baja mulai bergulir,
dan peluit kereta berbunyi nyaring
Yogyakarta, 28 Ramadhan 1439 H
Eid Mubarak.
#KeretaNomor179
Nb: dua larik terakhir terinspirasi dari judul buku kumcer (Traffic Blues: Saat Hujan Deras & Jalanan Mulai Tergenang) yang ditulis seorang kenalan, Zen Rs (editor at large di http://tirto.id).
Perjalanan Itu Bernama Mudik
Baik, halo kawan, bagaimana kabarnya? Saya harap kawan senantiasa baik-baik saja, sehat secara jasmani, rohani, dan tentu finansial (hehehe). Lain dari perjalanan mudik saya di tahun-tahun sebelumnya, Lebaran 1439 H ini saya pulang ke rumah dengan jadwal sangat-sangat mepet. Well, H-3 saya masih diajak begadang di Maskam oleh seorang teman dan baru H-2 saya berangkat pulang. Itu pun hanya transit saja di rumah kakak sulung saya di Tasikmalaya.
Ada yang unik ketika perjalanan pulang dengan kereta saat itu. Saat adzan Maghrib akan berkumandang, para petugas dari manajemen kereta api membagikan ransum makanan berat pada penumpang. Gratis. Jelas ini hal yang baru. Beberapa penumpang (termasuk saya) kebingungan menerima kotak makan ini.
Bukannya kami tidak senang, namun tidak biasanya manajemen kereta api melakukan hal seperti ini karena tahun-tahun sebelumnya jelas tidak ada yang seperti ini. Semenjak menempuh studi di Jogja, ketika lebaran akan tiba, saya pasti pulang pakai kereta dan saya selalu membawa bekal sendiri untuk berbuka. Jadi, hal ini adalah sebuah keanehan tersendiri bagi saya. Well, apapun niatan dari manajemen dan BUMN secara umum, saya mengucapkan terima kasih. Sering-sering saja seperti ini, hehehe.
H-1 lebaran (malam takbir) saya baru melanjutkan perjalanan ke rumah saya di Sukabumi. Sungguh pun dalam hati saya agak ketar-ketir karena takut macet di jalanan. Namun, karena sesungguhnya saya melawan arus mudik pada umumnya, sehingga perjalanan menjadi lancar-lancar saja. Satu lagi yang membuat saya agak khawatir karena dari empat bersaudara, yang bertugas membuat ulén (uli ketan) yang berwarna putih itu tak lain tak bukan adalah si ragil (baca: saya). Dan biasanya ibu saya membuatnya setiap malam takbir sehingga nantinya dapat dibawa oleh saudara-saudara saya ketika mereka pulang, atau sekadar penganan hantaran untuk saudara atau tetangga ketika bersilaturahmi (di kampung saya tradisi bertukar rantang masih ada). Bagaimana jadinya jika si tukang tumbuk tidak datang? Hehehehe.
Membuat uli ketan itu sebenarnya sederhana. Beras ketan putih yang telah direndam selama beberapa jam ditanak seperti memasak nasi biasa, namun nanti dicampurkan dengan sedikit kelapa parut dan garam. Bahannya cukup itu saja. Hal yang cukup menyulitkan adalah pembuatannya karena nasi ketan harus ditumbuk. Uli ketan yang baik adalah uli ketan yang dibuat sehalus mungkin. Sehingga, untuk memudahkan penumbukan, maka nasi ketan harus ditumbuk ketika masih panas mengepulkan uap air.
Untungnya, ibu saya hanya membuat uli ketan, bukan opak ketan. Proses membuat opak ketan lebih sulit karena ada satu langkah tambahan setelah nasi ketan dihaluskan. Uli ketan masih harus dibentuk menjadi opak dan dibakar dengan arang. Dan semua itu dilakukan dengan keadaan uli ketan masih panas agar mudah dibentuk. Lebih ribet kan?
Well, dalam proses penumbukan, sebenarnya hanya soal kecepatan, momentum, dan gravitasi saja sih. Ketika kita dapat memposisikan diri dengan baik, maka kegiatan membuat uli ketan bisa jadi latihan mengolah otot lengan yang baik. Percayalah.
HAK untuk Marah
Marah.
Well, saya bukan orang dengan latar belakang pendidikan di bidang psikologi, jadi apa yang saya sampaikan pada kawan berasal dari pandangan orang awam saja. Ok?
Bagi saya, segala macam bentuk emosi yang kita miliki pada dasarnya tidak bisa dianggap sebagai kelemahan. Termasuk keinginan untuk menangis misalnya (bahkan untuk laki-laki). Juga rasa amarah. Hanya saja, memang bagi mereka yang mampu mengendalikannya, mampu menyampaikan jenis emosi pada tempat dan waktu yang tepat sajalah yang sulit. Menurut saya, keinginan menangis itu adalah ketika kondisi tubuh (terutama secara psikis) merasa lelah dan sangat tertekan atau ketika terharu oleh sesuatu. Dan itu wajar terjadi pada manusia.
Amarah, jika dikendalikan dan dapat disampaikan dengan baik, bisa jadi hal yang positif. Dan mengapa saya membicarakan hal ini pada kawan? Karena beberapa hari setelah lebaran, saya berkesempatan membaca buku yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma (SGA) yang berjudul Drupadi.
Lebaran, memang seringkali dimaknai sebagai waktu untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Namun, saya kira penting juga untuk memaknai alasan mengapa kita harus bermaaf-maafan. Salah satu penyebabnya adalah kemarahan. Saya ingat beberapa kali saya sempat kena marah di tahun ini. Tidak sering, tapi jelas pernah. Terlepas dari kondisi saya saat itu, saya agak kesal sebenarnya karena kena marah (siapa yang tidak). Namun, setelah saya pikir lebih jauh, saya cukup beruntung pernah melihat ekspresi marah beberapa orang yang saya kenal. Membuat saya sadar bahwa mereka adalah manusia juga. Punya rasa juga. Dan oleh karena itu, apalagi alasan saya untuk tidak memohon maaf (dan juga memaafkan orang lain)? We are all have emotions. And that’s not bad. It means that we have something in common. So, we could easier in order to understanding others.
Saya lupa kapan tepatnya kakak sulung saya menuliskan kata-kata ini, namun berikut kutipan lengkapnya:
Ada saat-saat dimana memaafkan tak semudah kelihatannya. Ada masa dimana permaafan tak mengatasi rasa bersalah, atau menyelesaikan masalah. Namun, saling memaafkan menjadi hakikat manusia mencapai kemanusiaan karena kekhilafan adalan keniscayaan. – Seni Apriliya
Izinkan saya untuk mencantumkan juga beberapa kutipan yang saya suka dari buku karya SGA:
Jika kawan suka, saya kira, buku karya SGA ini sudah banyak beredar di berbagai toko buku. Silakan mencari kutipan yang kawan suka dengan membaca sendiri bukunya. 🙂
*Saya suka kisah-kisah pewayangan. Mulai dari cerita wayang dari radio maupun komik lawas karya R.A. Kosasih.
Mancing ala Bocah
Beberapa hari setelah hari raya Idul Fitri, saya diajak memancing oleh keponakan saya. Awalnya saya menolak karena cuaca panas dan hari yang cerah bukanlah saat yang terlalu tepat untuk memancing. Tetapi akhirnya saya mengalah juga karena tidak tega pada dua keponakan yang masih bocah.
Akhirnya, pergilah kami ke daerah Batu Karut, sekitar 30 menit perjalanan menggunakan sepeda motor dari rumah kami. Sesungguhnya, jarak dari rumah ke Batu Karut relatif dekat. Namun, trek ruas jalan yang menanjak tajam dan terjal dapat menjadi tantangan tersendiri bagi rider.
Tempat kami memancing sebenarnya merupakan danau milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Lokasi tersebut aslinya adalah tempat penampungan curah hujan yang dimanfaatkan untuk sistem air minum di daerah Kota Sukabumi dan sebagian wilayah Kabupaten Sukabumi. Sekalipun cuaca tidak kondusif untuk memancing, tapi sangat cocok apabila hanya ingin merasakan angin sejuk dari pegunungan sambil makan bersama keluarga. Bagian utara danau terdapat semacam saluran air yang cukup lebar-sekitar 2 meter. Mata air berasal dari pegunungan setempat dan sangat jernih airnya.
Setelah beberapa lama menunggu ikan yang kian tidak muncul. Akhirnya saya memutuskan untuk merendam kaki dan menyuruh keponakan saya untuk berenang saja di saluran air tersebut. Bebatuan yang terdapat di saluran air tersebut beraneka warna, dapat mengindikasikan komposisi, asal sedimen, dan umur yang berbeda-beda. Beberapa berwarna merah gelap dan oranye, selain hitam atau abu-abu.
Saya berniat membawa bebatuan itu untuk dianalisis lebih lanjut ketika saya kembali ke Jogjakarta. Namun, saya ingat, tujuan saya ke sana adalah untuk memancing dan bersantai. Kapan-kapan saja saya kembali ke sana.
Well, untuk kali ini saya cukupkan sekian dahulu, nantikan kisah saya ketika melakukan perjalanan ke Taman Bumi Ciletuh.
All photos were taken by a smartphone camera. Please do not expect a high resolution of these photos. Comments or critics are welcome.
Kawan, kisah saya kali ini adalah mengenai perjalanan saya mengunjungi situs Candi Borobudur pada 28 Desember 2016 lalu. Setelah mengendarai si kuda besi selama sekitar 1 jam lebih (termasuk macet), saya dan beberapa teman dari beragam jurusan tiba di Balai Konservasi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Saya diajak ke sana oleh pegiat budaya Samantha Aditya dan Erwin Djunaedi. Keduanya saya kenal baik semenjak saya mulai belajar di UGM. Namun, rombongan kami sebenarnya terdiri dari delapan orang (termasuk saya, Mbak Sam, dan Mas Erwin) yang terbagi dalam empat sepeda motor.
Nah, setelah kami memarkirkan motor, lantas kami langsung menuju situs Candi Borobudur. Cuaca cukup cerah dan suhu cukup panas saat itu, wajar saja karena sudah dekat waktu tengah hari. Padatnya pengunjung semakin menambah kelembapan udara.
Borobudur: Nama dan Struktur
Sebenarnya, yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah melakukan educated guess alih-alih hipotesis mengenai asal mula nama Borobudur. Namun, saya cenderung setuju dengan pendapat dari De Casparis, seorang ahli purbakala berkebangsaan Belanda, yang berpendapat bahwa nama Borobudur berasal dari kata bhumisambharabudhara. Kata ini memiliki arti ‘Bukit Tumpukan Kebajikan pada (kesepuluh) Tingkatan-tingkatan (ke-Bodhisattwa-an)’. Kata ini lambat laun juga karena faktor kepraktisan penyebutan berubah menjadi kata ‘borobudur’. Saya kira, sepuluh tingkat candi ini menggambarkan sepuluh parami dalam ajaran Buddha. Apabila kawan ingin mengetahui lebih lanjut mengenai hal ini, saya sarankan untuk membaca buku Borobudur: Warisan Umat Manusia yang ditulis oleh Daoed Joesoef. Nagaoka (2016) pun menyebutkan bahwa penampakan dari struktur unik Candi Borobudur ini berakar pada penghormatan pada leluhur, pegunungan yang bertingkat-tingkat, dikombinasikan dengan konsep pencapaian Nirwana.
Kamadhatu
Candi Borobudur secara umum terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Kamadhatu, Arupadhatu, dan Rupadhatu. Masing-masing memiliki makna tersendiri namun tetap saling berkaitan satu sama lain. Adapun kamadhatu mencerminkan tahapan makhluk yang masih memiliki nafsu (kama) yang menggebu. Bagian ini meliputi kaki candi yang berhiaskan relief tentang karmawibhangga.
Kaki Candi Borobudur yang kita lihat saat ini bukanlah kaki candi yang sebenarnya. Bagian kaki ditutupi lagi dengan batu-batu untuk menjaga agar bangunan candi tidak runtuh. Sebagian batu penutup disingkirkan untuk memperlihatkan bahwa pada bagian kaki juga terdapat relief.
Kaki candi yang asli berukirkan relief yang mengisahkan tentang karmawibhangga, yaitu mengenai sebab-akibat (hukum kausalitas) (Fontein, 2015). Salah satu ajaran Buddha adalah mengenai reinkarnasi. Hal ini berhubungan dengan karmawibhangga. Maksudnya, apabila di kehidupan sebelumnya, katakanlah kita sering menghina orang lain, berkata buruk mengenai orang lain, maka di kehidupan kita selanjutnya maka wajah kita akan menjadi jelek. Pada beberapa pigura relief di karmawibhangga kita dapat menemukan beberapa huruf Jawa. Hal ini menunjukkan bagi para pemahat, sebab-akibat apa yang dikisahkan pada suatu bagian.
Rupadhatu
Kami naik ke tingkat Rupadhatu melalui pintu barat, dari bawah kami dapat melihat langkan-langkan yang berisi patung Buddha dengan posisi Amitabha. Rupadhatu menggambarkan bagian bahwa makhluk sudah mampu menanggalkan nafsunya, namun masih terbelenggu nama dan wujud. Tangga yang digunakan memiliki railhand yang menggambarkan lidah Makara, makhluk mitologi ini berbentuk ikan berkepala gajah, meskipun tidak semua tangga terdapat railhand berbentuk lidah ini. Beberapa tangga dilengkapi railhand dari aluminium dan anak tangganya dilapisi material semacam karet tertentu untuk melindungi permukaan batu dibawahnya. Lalu terdapat saluran air yang disebut jaladwara. Saluran air ini juga dihiasi pahatan makhluk mitologi, meskipun beberapa jaladwara ada yang hilang hiasannya itu. Mulut makhluk mitologi inilah yang digambarkan sebagai saluran air. Hal ini mirip seperti mulut gargoyle di banyak bangunan di Eropa.
Arsitektur Candi Borobudur berbeda dari rupa Candi Mendut atau Candi Pawon. Tidak ada ruang tertutup atau bilik tersendiri untuk bersemedi. Saat itu saya melihat dua orang sedang berkeliling sambil merapal sesuatu. Saya mengira mereka sedang berdoa. Namun, ketika saya menanyakan hal ini pada salah satu kawan baik saya yang menganut Buddha, ia menjelaskan bahwa kegiatan itu seperti meditasi berjalan. Kemudian saya mengerti bahwa berjalan di lorong-lorong candi lalu naik setingkat demi setingkat itu disebut pradaksina.
Dinding-dinding dalam di bagian Rupadhatu menceritakan keriuhan di surga menyambut kelahiran Siddharta hingga perjalanannya hingga menjadi Bodhisattwa. Kisah-kisah ini diambil dari kitab Gandawyuha. Cara membaca relief di bagian lorong dalam adalah dari kanan ke kiri. Sedangkan kisah-kisah yang dipahat di bagian dinding langkan dibaca dari kiri ke kanan. Kisah-kisah ini bercerita tentang kehidupan yang dialami Siddharta sebelum dilahirkan dalam bentuk manusia yang diambil dari kitab Jataka dan Awadana. Idealnya, apabila hendak melakukan pradaksina, diawali dari pintu di sebelah timur, lalu terus berkeliling lalu naik setiap tingkat di pintu timur juga.
Saya melihat terdapat relief yang menggambarkan kelahiran Siddharta ke dunia. Mas Erwin bercerita bahwa tujuh langkah pertama setelah Siddharta lahir, tumbuh kelopak bunga teratai. Saya kira, elemen bunga teratai atau lotus sangat kuat dalam ajaran Buddha karena penggambaran kelopak lotus juga muncul sebagai dudukan stupa di tingkat Arupadhatu.
Mbak Sam menceritakan salah satu relief yang masih utuh dan terlihat jelas. Well, yang akan saya sampaikan ini tidak persis kata-kata Mbak Sam, hanya saja, intinya seperti itu. Relief itu mengisahkan penjelmaan Siddharta menjadi kerbau yang memiliki sifat sangat sabar. Kerbau jelmaan Siddharta ini berkawan baik dengan seekor monyet yang usil.
Monyet tidak jahat tapi nakal. Kadang ia menarik-narik tanduk kerbau, kadang ia menusuk-nusuk hidung kerbau dengan ranting. Nah, suatu ketika, keduanya bertemu dengan raksasa. Raksasa itu bertanya pada kerbau, kenapa kerbau diam saja padahal ditusuk-tusuk ranting di hidung itu sakit?
Kerbau menjelaskan bahwa ia diam bukan karena tidak merasa sakit atau tidak mengerti apa yang dilakukan monyet. Kerbau merasa bahwa monyet adalah temannya dan selama hal itu membuat temannya (yaitu monyet) senang, maka kerbau ikut bahagia. Lalu, kerbau tahu dan mengerti bahwa monyet itu usil dan perbuatan yang dilakukan monyet itu kurang baik, namun kerbau yakin bahwa suatu saat monyet akan sadar bahwa perilakunya itu tidak baik. Akhirnya raksasa terkesan dengan penuturan kerbau dan berguru kepadanya.
Selain itu, ada relief di bagian dinding langkan yang utuh. Kali ini menceritakan ketika wujud Siddharta berbentuk penyu di lautan. Nah, dikisahkan ada sekelompok saudagar yang sedang naik kapal. Tiba-tiba badai datang, ombak bergulung mengombang-ambingkan kapal yang mereka tumpangi. Lalu datanglah penyu jelmaan Siddharta membantu mereka. Mencegah mereka dari tenggelam. Namun, setelah ditolong, mereka kelaparan yang berakhir dengan pertikaian. Penyu pun akhirnya merelakan dirinya sendiri untuk dimakan para penumpang kapal. Hal ini membuat mereka sadar bahwa yang mereka lakukan (bertengkar) itu tidak baik.
Saya agak lupa di tingkat berapa relief ini berada, namun terdapat relief yang menggambarkan Siddharta sedang memegang busur dan panah. Apabila menurut keterangan Daoed Joesoef, relief tersebut menggambarkan saat Siddharta menerima tantangan dari saudaranya yang bernama Dewadatta, sebagai salah satu persyaratan untuk meminang Gopa, seorang putri dari kalangan bangsawan.
Bagian lain dari relief juga ada deskripsi makhluk menyerupai setengah manusia setengah burung. Gambar relief ini mengingatkan saya akan sosok centaur, makhluk mitologi setengah manusia setengah kuda yang pertama kali saya tahu dari buku-buku karangan C.S. Lewis. Nah, makhluk setengah manusia setengah burung ini ternyata adalah para kinnari (putri dari bangsa Kinnara). Joesoef mengatakan dalam bukunya bahwa salah satu dari putri itu adalah Manohara, istri dari Pangeran Sudhanakumara dari Kerajaan Pancala Utara. Saya kira, nama hotel Manohara yang juga berlokasi di dekat Balai Konservasi Borobudur asal mulanya dari kisah ini.
Relief-relief di bagian dalam lorong Rupadhatu berwarna agak oranye. Mas Erwin berkata bahwa pada saat zaman kolonial, dinding relief dilapisi oleh sejenis bahan tertentu agar saat difoto, hasilnya terlihat bagus. Namun, kini malah berakibat korosi bagi relief. Sebenarnya ada cara untuk melapisi relief dengan semacam pelitur. Dahulu , pelitur tersebut dinamai vajraleppa dengan alasan karena saat candi tertimpa sinar matahari, ia menjadi indah berkilauan. Hingga kini belum diketahui apa saja komposisinya.
Arupadhatu
Kami tidak terlalu lama berkeliling, hawa panas dan banyaknya pengunjung membuat kami segera beranjak ke bagian Arupadhatu. Bagian ini menggambarkan tingkat dimana nama dan wujud sudah tanggal. Namun, apabila diperhatikan lebih jauh, bentuk lubang dari stupa di Arupadhatu tidak seragam seluruhnya. Ada yang berbentuk belah ketupat dan ada yang berbentuk persegi. Bentuk belah ketupat muncul lebih dahulu. Hal ini memiliki makna bahwa sekalipun sudah terlepas dari nama dan wujud, rintangan masih menghadang. Bentuk belah ketupat masih bisa goyah. Ia lebih sulit untuk tetap stabil. Sedangkan bentuk lubang selanjutnya, yaitu yang berbentuk persegi, ia melambangkan kemantapan hati dan kemampuan untuk menghadapi ujian. Saya sendiri yang berasal dari etnis Sunda, memahaminya sebagai filosofi masagi, merupakan usaha kita mencapai keseimbangan antara hal yang lahiriah dan batiniah, memunculkan harmoni dalam hidup.
Sebelah timur laut, kita dapat menemui stupa yang hanya tertutup setengahnya, memperlihatkan arca didalamnya. Nah, arca yang ini dapat digunakan sebagai penanda waktu terbitnya matahari. Jika kawan beruntung, mungkin kawan bisa memperoleh fenomena matahari terbit yang muncul tepat ditengah-tengah antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi.
Saya sungguh bersimpati pada petugas keamanan yang berusaha menegur pengunjung untuk tidak duduk di sisi-sisi stupa -termasuk di sisi stupa utama- namun tidak diacuhkan. Saat kami akan turun melalui pintu utara, Mas Erwin yang berjalan di depan saya mengingatkan seseorang yang duduk di salah satu stupa untuk berdiri. Namun, yang diingatkan malah ngeyel, lucunya, belum beberapa langkah kami berjalan, petugas dengan toanya dengan jelas menegur orang tersebut. Mas Erwin pun berkata pada saya, “Tuh kan, dibilangin juga apa. Karma itu ada.” Saya tertawa kecil mendengar hal itu.
Nah, ketika kami tiba di bagian Rupadhatu bagian utara, kami melihat hal ini.
Dann inilah orang-orang yang menjadi tour guide dadakan kala itu:
Lebih jauh mengenai Borobudur
Candi Borobudur yang dibangun sekitar abad ke-7 atau 8 ini bercorak Buddha, dibangun oleh wangsa Sailendra. Borobudur dibangun seperti puzzle. Pemasangan tiap batuannya sengaja tidak terlalu padat, menyisakan sedikit ruang untuk mengantisipasi adanya guncangan. Pada prosesnya, para pendeta selalu bersemedi terlebih dahulu untuk penentuan lokasi pembangunan candi yang baik. Selalu. Tanda tanah bagus untuk dibangun candi adalah saat disiram air, air tidak menyerap, tapi menggenang, menandakan kondisi tanah yang padat.
Patung-patung Buddha yang terdapat di candi dipahat dari batu utuh. Hal ini membuat bagian leher patung menjadi bagian paling rentan karena memang tidak disambung besi atau apapun. Sehingga, pada saat dulu mengalami keruntuhan, banyak kepala dari patung-patung itu terpisah dari bagian tubuhnya.
Kepala-kepala patung ini sering dijadikan cenderamata bagi pengunjung/tamu mancanegara zaman kolonial (Hindia Belanda) dulu. Balai Konservasi Borobudur telah mengoleksi banyak kepala patung yang terpisah dari tubuhnya. Namun usaha pengembalian kepala patung kepada tubuh yang tepat cukup sulit dilakukan karena patung Buddha yang terdapat pada Candi Borobudur dipahat oleh orang yang berbeda-beda. Gestur dan raut wajah Buddha yang digambarkan pun berlainan. Adapun beberapa kepala yang telah berhasil dikenali dan diyakini berasal dari patung tertentu, disambung kembali dengan suatu sambungan batang besi dan dikuatkan dengan lem khusus.
Pasca pemugaran masif yang selesai pada tahun 1983, kini terdapat suatu alas di setiap tingkatan untuk meminimalisir rembesan air secara langsung pada batuan. Adapun pemeliharaan candi kini dilakukan secara periodik. Secara umum, pemeliharaan dilakukan dengan dua cara, yaitu kering dan basah. Cara kering yaitu dengan disikat secara hati-hati dengan sikat halus. Cara basah dengan disemprot air bertekanan tinggi.
Terdapat beberapa saran yang akan saya sampaikan apabila kawan berkunjung ke Candi Borobudur, yaitu:
Tidak disarankan untuk mengenakan high-heels sebagai alas kaki. Alasan:
Membuat tungkai kawan rentan terkilir. Beberapa tangga di Candi Borobudur itu cukup tinggi. Yah, kecuali kawan hanya berjalan di kompleks candi saja sepertinya tidak mengapa. Tak perlulah naik ke atas.
Merusak permukaan batu yang terdapat di candi. Sudah cukuplah ia menahan beban dari bobot kita. Ingat pelajaran ilmu alam dulu, tekanan itu berbanding terbalik dengan luas permukaan. Semakin kecil suatu permukaan benda, dengan gaya yang sama besar, tekanannya akan lebih besar dibanding dengan permukaan yang besar.
Tidak membuang air liur di areal candi.
2. Beberapa orang memang memiliki kadar saliva berlebih dibanding yang lain. Namun, saya kira, dalam budaya kita, tetap saja meludah di tempat publik itu tidak sopan. Air liur manusia mengandung enzim-enzim yang digunakan untuk mencerna makanan. Dikhawatirkan saat saliva menempel di permukaan bebatuan akan menimbulkan korosi yang kronis.
3. Tidak menyentuh relief. Naik ke atas candi cukup melelahkan, setidaknya membuat tubuh kita mengeluarkan keringat. Ketika kita menyentuh relief dengan tangan yang lembap penuh keringat dan bakteri, ia akan menempel ke batuan dan menimbulkan korosi.
Tulisan ini adalah hasil dari pengamatan saya selama sekitar dua jam lebih, berikut penuturan yang disampaikan Mas Erwin dan Mbak Sam, keterangan yang saya baca dari beberapa buku mengenai Candi Borobudur, juga penjelasan kawan saya. Tentu masih banyak kekurangan disana-sini, saya harap saya akan mengunjungi situs Candi Borobudur lagi di lain kesempatan. Candi Borobudur mengguratkan kisah perjalanan yang tersimpan kebajikan didalamnya.
Seperti yang sudah-sudah, saya ingin menekankan bahwa saya tidak memaksa kawan untuk sepakat dengan apa yang saya tuliskan. Apabila memang ada yang merasa keberatan, mari kita diskusikan bersama. Saya yakin bahwa ada hal-hal yang memang tidak bisa dikompromikan, tapi saya percaya bahwa semua hal dapat dibicarakan baik-baik.
Tabik.
Berikut beberapa foto lain:
*Terima kasih kepada Mbak Sam dan Mas Erwin yang telah mengajak saya mengunjungi situs dan menjadi tour-guide tidak resmi.
Dokumentasi: Sumber gambar adalah hasil jepretan Mas Erwin, Mbak Dyah, dan saya sendiri.
Ditulis oleh Viny Alfiyah, mahasiswa Kimia 2015, masih senang ngopi dan makan nasi, jadi tentu penulis masih ada kemungkinan untuk melakukan kesalahan dalam penulisan artikel ini, maka penulis akan sangat menghargainya jika kawan mau berdiskusi dengan penulis agar penulis dapat menjadi pribadi dan manusia yang lebih baik lagi.
Selama manusia masih ada, maka ceritan tentangnya akan selalu ada. Setidaknya itu yang penulis yakini. Namun, semenjak awal mula penulis ingin menyampaikan bahwa ini adalah sebuah kisah, tak perlulah kiranya segurat kisah ini dibaca dengan berkerut dahi. Pun, apakah kawan mesti setuju dengan apa yang penulis uraikan juga sepenuhnya menjadi hak kawan. Penulis sudah sepatutnya memberikan pilihan pada kawan untuk tidak setuju.
Nah, satu kisah untuk penulis bagikan ini berawal dari suatu postingan di grup sosial media yang mengumumkan bahwa pada tanggal 27 November 2016 akan diadakan Familiarization Trip ke Dusun Tlatar Kandangan, Desa Wonokerto, Turi, Kabupaten Sleman. Sejujurnya, penulis berniat mengikuti ini karena alasan ingin melepas lelah karena pada hari sebelumnya, Sabtu, 26 November 2016, Keluarga Mahasiswa Kimia melaksanakan Musyawarah Mahasiswa Kimia (MMK) sebagai acara puncak dari rangkaian Pemira KMK 2016. Penulis yang saat itu diberikan amanah menjadi koordinator acara berpikir bahwa kegiatan Familiarization Trip (FamTrip) ini sebagai ajang refreshing juga. Sesederhana itu saja.
Tapi, apa yang penulis dapatkan ternyata lebih dari itu.
Beberapa hari sebelumnya, teman penulis satu prodi mengatakan bahwa ia ingin menitipkan motornya di kosan penulis. Sekalipun agak kaget, penulis senang juga ternyata ada teman yang penulis kenal ikut dalam FamTrip. Meski tentu, penulis merasa antusias untuk memperoleh kenalan baru.
Nah, mari kita langsung pada hari Minggu, 27 November 2016. Cuaca cerah, meski masih agak lelah, penulis merasakan semangat karena akan bertemu orang-orang baru hari itu. Berdua dengan teman penulis yang bernama Ifada.
Peserta FamTrip diharuskan untuk registrasi dahulu di lobi GSP. Sesuai pemberitahuan sebelumnya dari panitia, peserta dijadwalkan untuk registrasi pada pukul 07:00. Penulis memang mengharapkan keberangkatan sesuai jadwal namun yah keberangkatan tertunda sekitar 1 jam lebih karena menunggu peserta yang belum hadir. Marilah kita cukupkan sampai disana tentang hal itu, sekalipun saja time is priceless. Yah, pada akhirnya rombongan kami berangkat juga menggunakan bis.
Untungnya, bis yang disediakan pantia nyaman karena ber-AC. Penulis tidak dapat menggambarkan perjalanan ke tempat tujuan karena tak berapa lama setelah bis berjalan, jujur saja, penulis tertidur. Penulis terbangun saat kira-kira 20 menit sebelum tiba di tempat tujuan. Kiri-kanan jalan meskipun masih beraspal sudah banyak terlihat perkebunan salak. Tak lama kemudian kami sampai juga di Tlatar Kandangan.
Kami disambut oleh Menteri Pengembangan Desa Mitra yaitu Rizqi Prasetiawan (Mas Pras) dan perwakilan dari pihak desa yaitu Ari (Mas Ari). Rombongan diajak untuk bersantai sejenak di tempat transit, kami dijamu dengan salak. Mas Pras memberikan penjelasan bahwa alasan kegiatan pada hari tersebut dinamakan Familiarization Trip karena maksud dari kegiatan tersebut adalah untuk ‘memfamiliarkan’ nama Tlatar Kandangan sebagai lokasi Eco-Tourism. Bukan hanya untuk mengenalkan (to introduce) bukan pula sebuah perjalanan keluarga (family trip).
Mas Ari menjelaskan bahwa kami akan dipandu untuk menghadiri upacara sebelum pawai keliling Tlatar Kandangan. Nah, rombongan bergabung dengan penduduk setempat untuk mengikuti upacara pembukaan sebelum parade dimulai. Rombongan juga dijamu dengan penganan khas hasil palawija dan teh manis hangat sambil menyaksikan penampilan tari dengan iringan tetabuhan gamelan.
Ada yang menarik dalam rangkaian upacara ini, yaitu pembacaan kisah sejarah asal mula nama Tlatar Kandangan. Syahdan, penulis kurang mampu menangkap keseluruhan cerita karena dikisahkan memakai bahasa Jawa. Namun, secara garis besar terdapat pemberontakan yang berlokasi di Tlatar Kandangan sehingga Panembahan Senapati mengadakan sayembara dan seterusnya. Pun, diungkapkan pula asal nama Tlatar Kandangan, yang juga disampaikan dalam bahasa Jawa. Penulis rasa, apabila nanti kisah ini ditampilkan secara teatrikal atau dengan menggunakan media wayang, mungkin akan lebih menarik.
Setelah melakukan pawai keliling kampung, kegiatan dilanjutkan dengan berebut hasil bumi yang dijadikan gunungan. Yah, mirip dengan Sekaten yang diadakan Kraton Yogyakarta. Lalu, rombongan bersama masyarakat setempat makan bersama, lesehan. Makan dengan cara lesehan seperti ini sudah menjadi adat di etnis Jawa maupun Sunda sebagai tanda guyub. Sejujurnya, makanan yang disediakan tidak habis, separuhnya saja mungkin tidak (sekalipun sudah beberapa kali tambah).
Rombongan kembali diarahkan ke tempat transit usai makan siang. Lalu, ada sambutan (yang sangat telat) dari Ali Zaenal (Presma BEM KM UGM 2016). Namun, ada yang menarik dari sambutan Mas Ali ini, ia berpendapat bahwa peradaban suatu bangsa tidak hanya dilihat dari perkembangan kotanya, tapi bahwa peradaban suatu bangsa juga dibangun dari desanya. Pemikiran yang sedikit berbeda dengan pepatah lama bahwa jika kita ingin melihat kemajuan peradaban suatu bangsa, maka lihat kotanya. Well, mari hentikan sejenak pembahasan hal itu.
Mas Pras (lagi-lagi) mengungkapkan bahwa ada staf dari Kementerian PDM yang bolak-balik ke Tlatar Kandangan dalam seminggu itu bisa 3 kali. Penuturan dari Mas Pras ini mengingatkan penulis pada perkatan Tan Malaka, cuma manusia pengecut atau curang yang tiada inign melakukan pekerjaan yang berat, tetapi bermanfaat buat masyarakat sekarang dihari kemudian itu. Kesibukan sebagai mahasiswa, penulis kira tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus bekerja.
Siang itu, perwakilan dusun turut memberikan sambutan. Beliau mengatakan bahwa awalnya para pemuda kampung, apalagi sedikit (kurang dari 1000 meter persegi) itu sering lebih memilih untuk merantau ke kota untuk bekerja di pabrik atau di bidang konstruksi. Meski bukan berarti merantau itu tidak baik. Merantau membuat pikiran kita lebih terbuka, namun tetap ada waktu kita mesti pulang dan membangun tanah sendiri.
Mas Ari, pelopor Eco-Tourism kampung Tlatar Kandangan ini memaparkan bahwa salak pondoh itu panen dua kali dalam setahun biasanya. Sekitar bulan Juli dan bulan November-Desember. Hasilnya tentu banyak salak menumpuk, akibatnya, mengikuti hukum klasik ekonomi ceteris paribus unum a.k.a hukum supply and demand, maka harga salak perkilogramnya dapat begitu rendah, mencapai 3000 – 5000 rupiah perkilogram. Hal ini tentu menjadi pukulan tersendiri bagi masyarakat setempat. Sehingga, konsep eco-tourism ini menjadi salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut.
Konsep eco-tourism ini selain sebagai solusi bagi masalah yang timbul karena turunnya harga salak, turut mempertimbangkan kondisi lingkungan. Penulis yakin setiap lokasi wisata memiliki jumlah kapasitas tertentu. Nah, apabila kita melewati nilai kapasitas ini, maka akan mengancam kelestarian lingkungan itu sendiri.
Mas Ari juga menyebutkan apabila ada dari mahasiswa yang ingin melaksanakan penelitian, tentu masyarakat akan menerima dengan tangan terbuka. Seperti ada observasi yang dilakukan salah satu pelajar di sana bahwa getah pohon salak bisa dijadikan pengawet. Namun, belum diadakan penelusuran lebih lanjut karena biasanya getahnya itu dijadikan disinfektan apabila tertusuk duri salak.
Kembali ke rangkaian kegiatan rombongan FamTrip. Acara yang dilakukan adalah trekking. Nah, rombongan peserta dibagi dua kloter, kloter 1 mencoba trekking dulu baru melakukan demo pengolahan salak. Nah, sedangkan kloter 2 justru sebaliknya. Penulis berada di kloter 2, teman penulis satu prodi di kloter 1. Segera setelah pembagian dilakukan, peserta yang terdapat dalam kloter 1 menuju ke luar, peserta di kloter 2 akan menyaksikan demo pengolahan salak.
Ada dua ibu-ibu yang memperagakan demo, satu akan membuat wajit salak, ibu yang lain akan membuat kopi salak dan adonan kerupuk salak. Nah, kebetulan karena posisi penulis duduk saat itu terdekat dengan ibu yang sedang mengolah salak menjadi wajit, maka penulislah yang sepertinya harus membantu ibu tersebut. Menurut pengalaman penulis, lebih baik mengolah adonan wajit di awal saja karena jika diakhir-akhirkan pasti nanti adonannya semakin lengket.
Demo Pengolahan Salak
Pembutan wajit salak, agak berbeda dengan wajit labu yang dulu pernah penulis buat di kampong halaman. Nah, untuk membuat wajit salak, ternyata setelah daging salak dipisahkan dengan bijinya, daging salak dikukus agar kadar airnya berkurang lalu dihaluskan dengan cara diblender. Daging salak yang sudah halus dimasukkan ke dalam wajan, lalu dicampur dengan gula dan parutan kelapa. Adonan terus diaduk perlahan dengan api yang kecil. Pengadukan ini wajib, karena jika tidak, adonan akan wajib. Hasil wajit salak kloter 2 memang tidak gosong, namun terlalu kering sehingga sulit dibentuk. Ibu yang memandu demo mengatakan bahwa ia sebelumnya belum pernah membuat wajit dengan kompor gas karena sebelumnya selalu dengan tungku bahan bakar kayu. Namun, saat penulis melihat hasil dari kloter 1, sukses dibentuk balok.
Pembuatan kopi salak itu bahan baku utamanya adalah ketos (biji) salak yang belum atos (keras). Biji salak dijemur kemudian dipotong empat agar bentuknya lebih teratur sehingga lebih mudah saat digiling. Biji yang telah dipotong disangrai dengan api kecil, lalu ditumbuk, dan digiling. Saat itu kami belum sempat membuat hingga jadi, namun kami sempat mencoba minuman kopi tersebut. Kopi salak tidak dimaksudkan untuk membuat kita begadang, namun cenderung untuk minuman kesehatan. Sampai saat itu, perniagaannya masih dalam bentuk perdagangan online karena bukan merupakan mata pencaharian utama. Produk olahan salak lainnya adalah kerupuk salak. Nah, dalam pembuatan kerupuk salak ini prosesnya penulis kurang paham, karena saat itu terlalu fokus mengaduk adonan wajit salak (pembuatan wajit salak dan dua macam olahan salak lainnya dilakukan secara bersamaan).
Trekking
Usai shalat Ashar, peserta yang termasuk kloter 2 giliran mencoba jalur trekking. Penulis dari awal sengaja mengenakan sandal gunung karena berspekulasi akan ada kegiatan trekking. Maka, apabila berkunjung ke Tlatar Kandangan dan berniat untuk menempuh jalur trekking-nya, disarankan untuk memakai sandal gunung atau sepatu olahraga. They would help you, really. Namanya juga trekking alias berjalan jauh ‘kan? Hehehehe.
Kondisi cuaca saat trekking memang gerimis sepanjang perjalanan. Udara segar dan jalur trekking yang menantang, dilengkapi dengan beberapa tempat yang dapat dijadikan ‘pos’, sangat cocok sebagai tempat makrab lembaga.
Selain melewati satu bendungan kecil dimana menjadi tempat pertemuan dua anak sungai. Juga terdapat satu bendungan yang besar juga cukup deras arusnya. Nah, dekat bendungan besar tersebut ada semacam saluran air yang cukup dalam, penulis tidak ikut berenang namun penulis perkirakan dalamnya mencapai sekitar 2 meter. Apabila kawan ingin mencapai dataran kecil di bendungan besar ini, kita harus melewati celah sempit (mesti hati-hati benar). Namun, suasana di dataran kecil dekat bendungan itu benar-benar seru. Suara derasnya air terasa sangat sejuk di telinga.
Nah, selanjutnya kami melanjutkan perjalanan lagi. Well, mengingat tadi kami turun cukup jauh untuk mencapai sungai, ya wajar saja kalau perjalanan pulang ini cukup membuat penulis harus pandai-pandai mengatur napas.
Sesampainya kami di tempat transit, peserta dari kloter 1 sedang mengisi kuisioner, penulis sendiri sejujurnya tidak mengisi kuisioner karena diajak membuat video testimoni. Nah, di akhir acara, setiap peserta diberikan souvenir yaitu kerupuk salak, bubuk kopi salak, dan wajit salak. Selepas waktu magrib, kami kembali naik bis untuk menuju ke UGM. Oh ya, satu lagi yang menjadi keunggulan dusun Tlatar Kandangan ini, terdapat jalan mengarah ke utara, dan apabila cuaca cukup bersahabat, maka kita akan memperoleh pemandangan yang jelas sekali ke Gunung Merapi.
.
Apabila kawan tertarik untuk mengadakan acara di Tlatar Kandangan, brosur resminyanya dapat kawan unduh disini.
Komentar personal
Pada 15 Desember 2016, penulis sempat menghadiri diskusi public sekaligus launching buku Catatan Akhir Tahun 2016 dari LBH Yogyakarta di convention hall Gedung BB Fisipol UGM. Turut hadir pada kesempatan tersebut seorang pengacara yang berkonsentrasi di bidang agrarian, Siti Rakhma Mary H. Beliau menyebutkan bahwa pada tahun 2017 terdapat UU Reforma Agraria.
Peraturan ini merupakan wujud dari kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo mengenai daerah pedesaan. Masyarakat dapat mengusulkan untuk menggunakan sejumlah lahan pemerintah untuk digarap. Pemerintah akan mendampingi mulai dari penanaman, sampai pemasaran yang dapat diwujudkan dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa ataupun koperasi.
Pemerintah membebaskan akan ditanami apa selama tidak melanggar aturan (bisa jagung, palawija, padi, dsb.). Desa yang dikembangkan nanti bermacam-macam, disesuaikan dengan kondisi geografis dari lokasi desa. Apabila memang dekat lokasi perkebunan, maka dijadikan desa perkebunan. Apabila terletak di dekat bibir pantai maka dapat masuk kategori desa pesisir.
Penulis menyarankan agar pada masa bakti pengurus BEM KM UGM 2017, Kementerian Pengembangan Desa Mitra tetap diadakan. Sekalipun dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan Advokasi untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai Reforma Agraria tersebut.
Penulis ingin mengutip perkataan salah legenda revolusi yang bagi penulis masih terlalu lurus punggungnya untuk dituruti secara utuh -Tan Malaka- dalam salah satu buku beliau, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” Mahasiswa bukan hanya memiliki kewajiban untuk belajar dibalik dinding-dinding kelas, ia juga memiliki tanggung jawab untuk turut membangun masyarakat.
Kawan masih ingat pendapat Mas Ali di awal tulisan ini? Penulis kira, mungkin keadaan di perkotaan dapat dijadikan salah satu faktor tolok ukur peradaban suatu bangsa, namun, apabila melupakan sama sekali pembangunan desa, penulis kira tidak. Pedesaan memiliki karakter dan caranya sendiri untuk turut memajukan peradaban, ingatlah sesungguhnya padi tumbuh tidak berisik.
Sekali lagi, penulis ingin menekankan bahwa penulis tidak memaksa kawan untuk sepakat dengan apa yang penulis tuliskan. Jika kawan tidak sepakat ya sudah, tak usah diperpanjang dengan pertengkaran, setidaknya kita sepakat bahwa kita tidak sepakat. Selamat tahun baru.
Tabik.
Dokumentasi: sumber dari panitia FamTrip, Ahmad Ariefudin, Liza, Imta Vivi Variyani, dan dokumentasi pribadi penulis.
*Tulisan ini penulis dedikasikan untuk panitia dari Kementerian Pengembangan Desa Mitra BEM KM UGM 2016 beserta para peserta FamTrip 2016 yang kocak dan seru; tanpa kalian, tulisan ini mungkin tak akan pernah ada.
Ditulis oleh Viny Alfiyah, mahasiswa Kimia 2015, masih senang ngopi dan makan nasi, jadi tentu penulis masih ada kemungkinan untuk melakukan kesalahan dalam penulisan artikel ini, maka penulis akan sangat menghargainya jika kawan mau berdiskusi dengan penulis agar penulis dapat menjadi pribadi dan manusia yang lebih baik lagi.
Ok, halo, ketemu lagi sama saya, kagak bosen kan yah? Harusnya kagak sih berhubung akhir-akhir ini saya agak jarang nulis artikel buat blog.
Ehm, sebelum mulai, saya pengen bilang kalo tulisan ini sih awalnya bukan karena saya pengen ikutan lombanya, ini lebih ke memenuhi janji saya pada Novia Setiani (surely, I haven’t meet with her yet but it is okay), lalu Zenius ngadain event ini so, kenapa enggak saya ikutin juga ke lombanya? Hehehhe (mungkin kamu tertarik untuk baca tulisan saya di awal tahun 2015, dengan itu saya pikir kamu akan lebih mudah mengerti tulisan saya yang ini).
Yak, saya cukupkan mukadimahnya, let’s begin….
A Word For This Year
Jika ada kata-kata yang paling pas menurut saya untuk tahun ini sepertinya adalah ‘nano-nano’ alias macem-macem. Oke, kenapa begitu? Jelas karena banyak kejadian yang udah bikin saya sedih, senang, gusar, kecewa, bahagia, sukacita, dan lain sebagainya. Satu tulisan jelas tidak bisa untuk merangkum semua kejadian yang saya alami selama satu tahun, tapi saya akan berusaha biar enak buat kamu baca kok, kalem aja.
Jadi, gini awal tahun 2015 dalam hidup saya memiliki arti bahwa sudah setengah tahun saya menjalani kehidupan sebagai ‘pertapa’. Ya, saya lulus dari SMA tahun 2014 gagal masuk perguruan tinggi di tahun yang sama, lalu saya memutuskan untuk nunda setahun dan ngulang ujian di 2015, saya dan ketiga teman sekelas saya. Sebenarnya, setelah saya gagal di SNMPTN 2014 dan di SBMPTN 2014, saya memilih untuk tidak mengambil jenis tes apapun, baik itu ujian ke PTK (dengan ikatan dinas dan sebagainya) maupun UM dari PT manapun, pokoknya benar-benar idealislah saya itu, waktu itu ya.
Enam bulan pertama (Juli 2014-Desember 2014) masa pertapaan saya terasa lamaa….. sekali, waktu itu saya fokusin belajar TPA dan Matematika Dasar, barulah saat mulai Januari 2015 saya belajar materi Saintek dan sesekali belajar materi Soshum. Jujur, enam bulan pertama mungkin adalah saat-saat terberat dalam masa pertapaan itu. Kamu bakal denger (mau gak mau) temen-temen seangkatanmu/sekelasmu pada ribut di grup sosial media ngomongin Ospek dengan segala keriuhannya, ngomongin gimana rasanya jadi anak kuliahan, rasanya UTS dan UAS di kehidupan kuliah, ikutan UKM, dan lain-lain. Nah, saat awal tahun minggu pertama atau kedua, biasanya kan pada liburan tuh, saat gathering bareng salah satu topik yang pasti muncul adalah IP-S. Jelas, hal-hal kayak gitu bakal bikin kamu sedikit-banyak terluka. I knew it, tapi itu nggak seberapa dibanding dengan kenyataan bahwa mereka (temen-temen yang udah pada kuliah) enggak salah sama sekali dan adalah hak mereka untuk ngomongin hal-hal seputaran kuliah di grup sosial media.
Well, kalau saya sih milih tetep enggak left group sih, meski aktivitasku di grup kelas SMA emang berkurang (malah nyampe sekarang kalo nggak penting-penting amat biasanya saya diem aja). Kalo kamu emang lagi nunda setahun juga dan milih buat keluar dari grup sosial media kamu ya silakan saja, it is up to you.
Lalu….Januari 2015 pun tiba, saat temen-temen saya pada pulang ke Sukabumi (my hometown), mereka ngajakin buat gathering di salah satu rumah teman di daerah Naggeleng. Harus saya akui saya kangen mereka juga, meski saya tahu, akan ada kemungkinan topik soal kehidupan perkuliahan itu muncul di obrolan kami waktu itu, tapi saya pikir ya sudahlah, let’s go along with it. Saat saya tiba rumah teman saya tersebut, beberapa teman sekelas saya sudah datang, memang, sampai saya pulang pun hanya sesekali topik perkuliahan itu muncul. Ini yang membuat saya sangat menghargai mereka, melalui tulisan ini, izinkan saya sampaikan ucapan terima kasih saya pada kalian, Keluarga ACTION. Kalian telah berusaha menenggang perasaan kami (saya dan teman-teman saya yang belum kuliah yang waktu itu juga datang), saya menghormati itu, meski kita jarang bertatap muka, tapi kita akan selalu merasa bersama.
Oh,ya, buat kamu yang baca tulisan ini dan sedang nunggu juga, jika orang-orang yang kamu kira saat ini adalah teman kamu tapi setelah mereka tahu keadaan kamu saat ini lantas mereka menjauhi atau mengabaikan kamu, saya rasa kamu mesti pikir-pikir lagi deh buat spending your valuable time with them, cause I don’t think they deserve it. Lagian, saya pikir bener juga apa yang dulu pernah dibilangin Sabda dulu.
Nah, lanjut dah, kehidupan saya terus bergulir, enam bulan pertama di tahun 2015 terasa sebentar, banyak TO yang dijalani dan evaluasi mandiri lainnya. Mulai bulan Mei, the real battle dimulai. Pada bulan Mei 2015 juga saya ikut ujian masuk STIS di Bandung (bagi kalian yang juga ikut saya ucapkan salam sekarang, hehehehe). Alhamdulillah lolos tahap pertama tapi gagal di tahap kedua. Mungkin waktu itu salah saya juga sih karena nazar (janji) saya waktu itu kira-kira bunyinya seperti ini, “Ya Allah, hamba mohon untuk lolos tes STIS ini, setidaknya tahap satu saja, kalau saya lolos tahap satu hamba akan….,”. Dan memang benar Allah mengabulkan doa saya, saya lolos kok, lolos tahap pertama, dan tentu saya juga lakukan nazar saya. Jadi, bagi kamu yang sekarang mau ujian apapun, saya sarankan kalau berdoa jangan tanggung-tanggung, dan jangan lupa usaha yang maksimal ya. Bagi kamu yang muslim kalau mau ya nazarlah kalian, bisa buat jadi motivasi tambahan juga kan?
Lalu lanjut ke bulan Juni 2015, akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba juga, setelah sehari sebelumnya (Senin, 8 Juni 2015) saya cek lokasi ujian (setelah nyasar-nyasar gegara lokasinya ada di kota sebelah), esoknya (Selasa, 9 Juni 2015) setelah shalat Subuh dan mohon doa dari orang tua, berangkatlah saya ke tujuan, memacu motor pinjaman yang saya pakai dari Kota Sukabumi untuk menyalip entah berapa truk, bis, mobil pribadi, angkot, dan motor lain agar terhindar dari macetnya jalan karena banyaknya karyawan dari pabrik yang berjajar dari Kabupaten Sukabumi (bagian timur) sampai Cianjur yang berangkat/pulang kerja, selain itu jalan yang saya gunakan juga jadi jalur transportasi manusia maupun komoditas barang (bahan bangunan dan lain-lain) dari arah Bandung menuju Bogor/Depok/Jakarta. Alhamdulillah, setelah sekitar 40 menit perjalanan, saya tiba di lokasi ujian sekitar pukul 6 pagi. Saya sempatkan untuk keliling-keliling gedung sekolahan yang jadi lokasi ujian saat itu untuk sekadar menghangatkan tubuh dan mencari-cari adik-adik kelas saya yang saya kenal.
Satu jam kemudian saya sudah siap di ruangan bersama sekitar dua puluh-an orang lain (saya lupa persisnya berapa orang) termasuk pengawas ujian. Beberapa penjelasan dari pengawas ujian, lalu kertas soal pun dibagikan. Well, saya kira tak perlulah saya ceritakan bagaimana saya menjawab soal-soal tersebut. Singkatnya, saya kerjakan sebaik-baiknya saja soal tersebut. Nah, selesai ujian saya akhirnya makan siang, kalau tidak salah saya makan siomay waktu itu (perlu banget ya disebutin, hahahaha!), lalu pulanglah saya, masih dengan motor pinjaman ke rumah, agak santai kali ini, karena saya tidak diburu-buru seperti saat berangkat tadi pagi.
Utul UGM dan Simak UI
Ada yang berbeda di tahun 2015 ini, setelah sebelumnya saya ikut ujian masuk STIS, saya juga memilih ikut UM, tepatnya Utul UGM. Tahun 2015 ini lagi-lagi UM yang diadakan UGM (Utul) dan UI (Simak) diadakan pada hari yang sama, yaitu 14 Juni 2015. Entah ada apa ini antara UGM dan UI, tapi yah saya kira itu hak prerogratif masing-masing PT kan? Jadi, buat kamu yang berencana untuk ikut UM di UI atau di UGM, mending kamu rencanain dari sekarang buat milih yang mana, karena sepertinya tahun 2016 juga seperti itu (sabar ya, saya tahu itu memang pilihan yang cukup sulit, *puk..puk..puk).
Nah, kembali pada kisah saya ya? Setelah pulang ujian SBMPTN, esoknya saya langsung berangkat ke Tasikmalaya, kota tempat kakak sulung saya tinggal, karena rencananya saya akan berangkat ke Yogyakarta (saya mengambil lokasi ujian tulis di Yogya) dengan kereta dan tidak adanya kereta langsung dari Kota Sukabumi ke Yogyakarta. Kegiatan saya selama di rumah kakak saya itu ya hanya ke stasiun untuk pesan tiket, main-main dengan keponakan-keponakan saya, atau antar-jemput kakak saya ke kampus beliau mengajar, yaitu UPI Kampus Tasikmalaya.
Sabtu pagi, 13 Juni 2015, saya sudah siap sedia di Stasiun Tasikmalaya dengan adiknya ipar saya, Kang Rizky (beliau ini yang nganter-nganter saya kemana-mana selama awal-awal waktu saya di Yogya), menunggu kereta Pasundan kepunyaan PT KAI (tak apa-apalah saya promosi sedikit, toh itu kendaraan transportasi publik milik negara alih-alih rakyat). Saya naik di kereta kelas ekonomi, yah jujur saja, meski ekonomi tapi nyaman kok, keretanya bersih, ada AC-nya, mulai dari peron sampai kabin kereta, semuanya tertib, dan yang paling penting tidak ngaret. Serius. Tidak ngaret, yah mulur satu atau dua menit saya kira masih dalam batas kewajaran. Sampe-sampe sekarang aja saya masih nyimpen potongan tiketnya (atas nama kenangan tentunya, agak melankolis juga ya saya? Hehehe 😀 ).
Oh,ya, di kereta, penumpang yang duduk di depan kami (saya dan Kang Rizky) ternyata juga akan mengikuti Utul! What a coincidence! Lalu saya sadar, sepertinya separuh dari gerbong yang saya tempati sepertinya akan mengikuti Utul juga. Kira-kira pukul 14.15, kereta tiba di Stasiun Lempuyangan (fyi, kalau kamu naik kereta kelas bisnis atau eksekutif, kamu akan turun di Stasiun Tugu). Setelah turun dari kereta, kami makan, well, tepatnya hanya Kang Rizky yang makan karena saya masih kenyang karena makan bekal saat di kereta. Sambil menunggu teman Kang Rizky datang untuk membawakan motor Kang Rizky ke stasiun. Sorenya, kami pergi mencari lokasi ruangan tempat saya ujian. Setelah berkeliling beberapa kali, akhirnya ketemu juga.
Esoknya, setelah makan nasi goreng di burjo (semacam warung makan, tapi rata-rata penjualnya itu dari Kuningan atau etnis Sunda, kalau kamu kuliah di UGM, kamu pasti akan senang nonton sepak bola atau pertandingan Moto GP ataupun balap F1 rame-rame di sini), saya diantar Kang Rizky ke tempat ujian dengan janji akan dijemput setelah selesai.
Saya memilih Utul tipe campuran, jadi saya ujian sampai sore, nah setelah ujian kami shalat dan makan dulu. Saat kami pergi ke tempat agen bis (kami tidak kebagian tiket pulang ke Tasikmalaya jadi terpaksa kami naik bis), sayangnya bisnya sudah penuh semenjak dari Terminal Giwangan, jadi yah terpaksa kami menunggu sampai besok. Untungnya esok hari kami akhirnya mendapat tempat juga di bis jurusan Yogya – Tasik.
Juni berakhir dan bulan Juli pun menjelang beriringan dengan bulan Ramadhan. Awalnya, pengumuman Utul lebih cepat daripada pengumuman hasil SBMPTN 2015, namun entah mengapa, pengumuman Utul justru diundur menjadi tanggal 15 Juli 2015, beberapa hari setelah pengumuman hasil SBMPTN. Lalu pada 9 Juli 2015, sore itu, saya tercenung menatap layar notebook saya. Ya, saya gagal, lagi. Sedihkah saya? Saya kira tidak. Serius. Saya tidak tahu apakah kamu percaya atau tidak tapi saya sama sekali tidak merasa sedih saat itu juga sesudahnya. Saya hanya merasa… lelah. Saya capek. Saat saya memeberi tahu keluarga dan kawan-kawan saya, mereka terkejut sambil terus mendukung saya tentunya. Malamnya saya menanyakan kabar dari teman-teman saya yang juga ikut SBMPTN 2015, dan semuanya TIDAK ADA yang lulus.
Saat saya membuka pengumuman hasil Utul UGM pada tanggal 15 Juli, Alhamdulillah saya diterima di prodi Kimia. Senang, bisa dibilang begitu, tapi lebih tepatnya saya merasa lega saja. Allah berkenan memberikan kesempatan pada saya untuk belajar di UGM. Lambat laun saya mengerti, mungkin hikmahnya kenapa tidak ada dari kami yang waktu itu ikut SBMPTN tetap tidak lulus juga karena jika salah satu dari kami ada yang lulus, jujur saya sendiri tidak yakin untuk bagaimana sakitnya hati yang tidak lulus. Itu bisa saja hanya bentuk penghiburan diri yang saya lakukan, namun saya hanya berprasangka baik saja bahwa hasil SBMPTN kemarin adalah pilihan terbaik dari Tuhan untuk kami. Toh, saat ini, kami (saya dan teman-teman saya yang sama-sama mengulang) sudah kuliah di tempat masing-masing, saya di UGM, ada juga yang di Unpar Bandung, ITS, dan lain-lain. Kami semua lulus melalui UM. Sampai-sampai salah satu kawan baik saya berkelakar, “Kalian mah rezekinya di UM”, begitu katanya yang tentu saya sambut dengan tawa kecil.
Obstacles cannot crush me, every obstacle yields to stern resolve – Leonardo da Vinci
Prodi Kimia dan Seorang Prasdianto
Seorang ilmuwan harusnya menguji apa yang ia percaya, bukan mencari pembenaran atas apa yang ia percaya. (Manjali dan Cakrabirawa, Ayu Utami)
Jujur, semasa SMA saya bukanlah orang yang suka mata pelajaran Kimia, nilai saya pun cenderung biasa-biasa saja. Lalu, kenapa saya memilih prodi Kimia saat Utul? Ceritanya begini, waktu saya belajar pake Zenius, Bang Pras ngajarin Biokimia dan bilang kalo Kimia adalah jembatan antara Fisika dan Biologi. Nah, disinilah awal mula ketertarikan saya pada ilmu Kimia.
Kamu tahu nggak bagaimana reaksi guru Kimia SMA saya saat beliau saya beri kabar kalau saya masuk prodi Kimia (murni) di UGM? Beliau berkata, “Masa?!” Saya sih tidak kaget, jelas beliau tidak menyangka saya masuk prodi Kimia karena beliau tahu persis bagaimana perilaku saya apabila beliau mengajar di kelas dulu. Namun, hari itu termasuk salah satu hari yang akan terus saya ingat, mata beliau berkaca-kaca karena saya masuk prodi Kimia. Lalu saya memohon doa pada beliau agar saya dapat kuliah dengan lancar. Saat menjalani kuliah pun, tentu awalnya saya agak kewalahan, mulai dari adaptasi lingkungan hingga adaptasi materi yang diberikan dosen. Jadi, tidak ada alasan khusus kenapa saya masuk prodi Kimia. Bukan karena saya ingin mendapat pekerjaan di bidang pertambangan, farmasi atau apapun. Saya hanya ingin tahu. I’m just curious and I enjoy myself learning.
Kini, di akhir tahun 2015, saya memikirkan lagi perjalanan hidup saya, tentang keputusan-keputusan yang pernah saya ambil. Salah satu yang paling penting adalah keputusan saya untuk bertapa selama satu tahun. Sejujurnya itu bukan keputusan yang saya ambil dengan mudah. Saya pernah mengatakan hal ini pada salah satu artikel di zenius blog yang kurang lebih intinya seperti ini, seandainya kamu sekarang sedang ‘bertapa’ juga seperti yang pernah saya lakukan, bersabarlah, perjuangan ini belumlah selesai, Januari nanti mungkin kamu akan bertemu kawan-kawan seangkatanmu yang sudah kuliah dan saat mereka berbagi cerita, hadapilah dengan bijak. Yakinlah jika mereka benar-benar temanmu, mereka akan berusaha menjaga perasaanmu. Mereka akan tetap menghormatimu dan mendukungmu. Bagi kamu yang saat ini sedang menjalani semester pertamamu (sama seperti saya), saya mohon dengan sangat tolong jaga perasaan teman kalian yang saat ini masih berjuang. Serta untuk kamu yang saat ini akan menghadapi SBMPTN 2016, berjuanglah, bersabarlah, saya berdoa agar kalian mendapatkan hasil yang terbaik.
Lalu, apakah saya menyesal dengan keputusan saya untuk bertapa? Saya kira tidak. Saya justru cenderung mensyukurinya, saya bersyukur pada Allah yang telah meneguhkan hati saya, memberikan keluarga dan kawan-kawan yang pengertian, juga karena telah mengenalkan saya pada Zenius semenjak awal 2014, memberikan guru-guru yang mendukung saya, mengizinkan saya untuk belajar pada tutor-tutor yang hebat, meski belum pernah sekalipun saya bertemu muka secara langsung dengan mereka (Sabda, Wisnu, Pras, Bang Glenn, dan lain-lain), dan kesempatan untuk berinteraksi dengan teman-teman di Grup Line Zenius 2015 yang kini sudah menyebar di berbagai PT. Saya punya waktu untuk bepergian, membaca buku-buku bagus, menonton film, memperbaiki kemampuan berbahasa saya, duduk diam ditemani secangkir kopi atau teh di kamar saya dengan jendela terbuka sambil berpikir, bercanda dengan kemenakan-kemenakan saya, dan lain sebagainya. Saya bersyukur saya masih punya kesempatan untuk melakukan hal-hal itu.
Perubahan secara kognitif jelas saya rasakan, namun lebih dari itu, saya belajar untuk jadi lebih sabar, lebih pengertian, lebih rasional, dan terutama lebih bijak dalam menghadapi masalah dan mengambil keputusan, dan saya rasa, Zenius (termasuk orang-orang didalamnya) setidaknya turut andil bagi saya untuk terus memperbaiki kualitas diri. Membuat saya jadi pendukung MU yang baik dan tetap mampu menghormati Liverpool, juga menghormati Steven Gerrard (saya membayangkan jika saya bisa duduk semeja dengan Sabda, saya akan menepuk bahunya seraya berkata, “Gerrard adalah pemain yang hebat, bahkan sampai pertandingan terakhirnya berseragam Liverpool melawan MU, ia tetap hebat. He is a legend, even without a crown of BPL.”)
Well, ada sebaris doa yang terus saya ulang pada diri saya, “Ya Allah, jagalah saya dari kebahagiaan yang melenakan dan dari kesedihan yang menghanyutkan.” Saya berharap suatu saat nanti, saya punya kesempatan untuk bertemu dengan kamu, di UGM mungkin? Adakah dari kalian yang ingin kuliah di UGM? Saya tunggu ya di Bulaksumur. 😀
Hidup ini sangat murah hati pada orang-orang yang mau mengejar takdir mereka. (The Alchemist, Paulo Coelho)
Terakhir, semoga tulisan ini memberikan manfaat untuk kamu, terima kasih sudah berkenan membaca tulisan saya ini, dan selamat tahun baru.
*PS: Kalo buat rekomendasi buku, saya pikir Bang Glenn udah ngasih daftar yang ciamik banget, jadi yah tidak perlu saya tambah lagi. 🙂
Peristiwa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan hasil dari persatuan sebuah bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Akan tetapi, peristiwa proklamasi tersebut adalah salah satu buah dari apa yang ditanam puluhan tahun sebelumnya. Sebuah peristiwa yang dapat dianggap sebagai titik balik perjuangan bangsa Indonesia, yaitu Sumpah Pemuda.
Delapan dekade lebih telah berlalu sejak peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Selama kurun waktu itu pula para pemuda di Indonesia selalu meninggalkan jejaknya dari masa ke masa, mulai dari rezim Orde Lama, Orde Baru, krisis moneter 1998, masa reformasi, hingga saat ini. Sumpah yang telah diucapkan para pemuda pada 28 Oktober 1928 masih berlaku untuk saat ini dan di masa yang akan datang. Sumpah tersebut merupakan ikrar, suatu janji yang dengan penuh tekad harus kita lakukan.
Ilmu Pengetahuan dan Pemuda
Suatu waktu, Anies Baswedan, yang kini menjabat sebagai Mendikdasmen, pernah mengungkapkan bahwa kekayaan terbesar sebuah bangsa adalah manusianya, bukan sumber daya alamnya. Sumber daya alam memang memberikan potensi yang sangat tinggi untuk kemajuan suatu bangsa. Namun, jika kekayaan sumber daya alam itu tidak diiringi oleh ‘kayanya’ sumber daya manusianya, bukan tidak mungkin suatu bangsa akan menjadi kuli di tanahnya sendiri. Lagipula, sumber daya alam berbanding terbalik dengan sumber daya manusia. Sumber daya alam lama-kelamaan akan habis, sedangkan sumber daya manusia lama-kelamaan malah akan semakin kaya.
Nah, salah satu faktor pendukung terbentuknya kekayaan sumber daya manusia adalah pendidikan. Pendidikan memungkinkan manusia untuk berperilaku lebih baik karena telah memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang dilakukannya. Pendidikan sendiri termasuk kata benda yang memiliki makna “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara perbuatan mendidik”. Atau, seperti yang mendiang Pramoedya Ananta Toer ungkapkan, bahwa pendidikan seharusnya adalah proses memanusiakan manusia.
Proses pendidikan, yaitu dengan cara mendidik, memiliki arti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Proses ini tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat karena pendidikan bukan hanya melatih manusia dalam berpikir dan memecahkan masalah, namun juga melatih kepekaan manusia untuk peduli dengan makhluk lainnya yang telah diciptakan oleh Tuhan. Dalam bukunya yang berjudul Madilog, Tan Malaka menulis, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.”
Ilmu pengetahuan memang penting, tetapi dalam hal ini karakter pemuda yang memiliki ilmu pengetahun itu jauh lebih penting. Kaum muda yang telah diberikan kesempatan untuk belajar ilmu pengetahuan, baik itu di sekolah tinggi negeri ini atau bahkan sampai merantau ke tanah seberang, mereka harus mampu melebur dengan masyarakat yang setiap harinya bergelut dengan cangkul dan debu yang hanya memiliki cita-cita sederhana. Jika hal itu tidak kita lakukan, untuk apa kita selama ini, berlelah-lelah diri belajar untuk masuk ke sekolah tinggi dengan akreditasi yang bagus?
Ilmu Pengetahuan dan Nasionalisme
Di era globalisasi ini, interaksi dengan bangsa-bangsa lain tidak akan terhindarkan. Apalagi pada akhir 2015 nanti, perjanjian Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) mulai berlaku. Pengetahuan dan kemampuan berinteraksi dengan bangsa lain menjadi hal yang penting untuk dimiliki. Hal tersebut mencakup kemampuan berbahasa, terutama bahasa Inggris, yang sebisa mungkin kaum muda harus memilikinya.
Ada anggapan bahwa dengan belajar bahasa Inggris akan mengurangi rasa nasionalisme kita. Namun, hal itu bukanlah anggapan yang tepat karena bahasa Inggris bukanlah bahasa asing. Dalam sebuah lokakarya yang pernah penulis ikuti, I Made Andi Arsana, yang menjabat sebagai Kepala Kantor Hubungan Luar Negeri di UGM pernah berkata, “Bahasa Inggris bukanlah bahasa asing, melainkan merupakan bahasa internasional karena kita hidup di sebuah tempat bernama Global Village (Kampung Global).”
Lagipula, bahasa Inggris tidak serta-merta menjadi bahasa internasional. Ada sebuah perjalanan panjang yang terangkum dalam sejarah manusia di bumi ini yang mengantarkan bahasa Inggris menjadi bahasa internasional. Poin terpenting dalam berbahasa adalah konsisten ketika berbicara dalam satu bahasa, tidak banyak mencampuradukkan kata-kata dalam bahasa yang berbeda. Sebagai contoh, jika kita berbicara ataupun menulis dalam bahasa Indonesia, upayakanlah sebaik-baiknya untuk 100% menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, apalagi saat berhadapan dengan sesama penutur bahasa Indonesia.
Kembali pada persoalan nasionalisme, kuatnya sikap nasionalis biasanya lebih banyak muncul karena pengetahuan akan sejarah, keyakinan-keyakinan pribadi, dan pengalaman hidup pribadi yang terjadi selama bertahun-tahun. Penguasaan bahasa yang disinggung di atas adalah sebagai alat bantu untuk menunjukkan sikap nasionalis tersebut.
Tantangan Pemuda Saat Ini
Ada beberapa tantangan yang mesti diatasi oleh pemuda saat ini, di antaranya adalah penguasa yang korup, pengusaha yang oportunis, dan kaum intelektual yang apatis. Ketiga hal tersebut dapat menjadi penyebab jatuhnya suatu negara. Maka, pemuda Indonesia mesti bersatu-padu untuk menjalankan proses pendidikan sebaik-baiknya, agar kemunculan ketiga hal tersebut dapat dicegah dan diberantas keberadaannya.
Pemuda tidak bisa hanya menjadi bara biasa yang berkelap-kelip hampir mati dalam tumpukan sekam, namun pemuda mesti menjadi bara dalam sekam yang berjuang untuk menularkan bara semangat perjuangan. Sekalipun dalam prosesnya mesti mati, setidaknya sisa abu sekamnya akan menyuburkan tanah persawahan, yang akan bermanfaat bagi generasi yang selanjutnya di masa depan. Jika ada perbedaan pendapat, biarlah seperti itu, jangan sampai perbedaan itu menjadikan perpecahan.
Terakhir, izinkan penulis menutup tulisan pendek ini dengan nukilan puisi yang ditulis oleh penyair W.S. Rendra.
Kesadaran adalah matahari.
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian adalah cakrawala
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
Catatan: Artikel ini dimuat dalam rubrik Pendidikan pada Majalah Online 1000guru edisi 55, Vol.3, No.10, (ISSN 2338-1991)
‘Kau tahu mengapa kucinta kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis.’- Pramoedya Ananta Toer
Ketika kita membicarakan budaya menulis, maka hal itu tidak akan jauh-jauh dari budaya membaca. Ketika kita membicarakan tentang kepenulisan, maka kegiatan membaca adalah suatu keniscayaan. Saya berani mengatakan, tidak ada satu pun penulis yang mampu menulis tanpa membaca, kalaupun ada, rasa-rasanya hal itu sangat jarang terjadi. Seperti apa yang dicatatkan Tan Malaka, the Founding Father of Indonesia yang menulis buku Naar de Republiek Indonesia, dalam buku beliau yang berjudul Madilog, “Sudah tentu seorang pengarang atau penulis manapun juga dan berapaun juga adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham, bahkan musuhnya sendiri, (Malaka, 1951).”
Mengapa dengan membaca kita akan sedikit terbantu ketika menulis? Pada dasarnya, menurut penulis, kegitatan membaca membuat kita berpikir dan lambat laun akan timbul hasrat untuk menulis. Dengan mmebaca, kita jadi mengetahui pandangan terhadap suatu hal dari berbagai perspektif, karena latar belakang penulis dari suatu karya terkadang mempengaruhi sekali gaya kepenulisan yang dimilikinya. Jujur saja, dulu saya termasuk orang yang cenderung mengabaikan unsur ekstrinsik suatu karya berbentuk tulisan, salah satunya yaitu latar belakang penulis. Namun setelah dipikir ulang, ternyata anggapan saya itu salah. Seorang teman pernah berkomentar bahwa jika saya ingin membaca buku tentang teori seleksi alam, ia lebih menyarankan untuk membaca edisi dua volume The Malay Archipelago dari Alfred Russel Wallace daripada The origin of Species by means of Natural Selection (The Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life) yang ditulis oleh Charles Darwin, yang merupakan sahabat dekat Wallace sendiri. Bukan karena Darwin meneliti di Galapagos dan Wallace di Kepulauan Indonesia, tapi gaya kepenulisan Wallace yang terkesan sebagai sebuah catatan perjalanan (traveling) ilmiah, membuat kita seakan-akan dibawa berjalan-jalan di Indonesia tempo dulu, sedangkan gaya kepenulisan Darwin benar-benar sebagaimana laporan penelitian berbentuk buku pada umumnya. Meski subjek penelitian mereka sama yang mengantarkan mereka pada teori yang sama dalam kurun waktu hampir bersamaan.
Menulis=Eksis
Bagi penulis pribadi, menulis adalah salah satu sarana untuk mengeksiskan diri. Saya ada karena saya berkarya, terutama dalam bentuk tulisan. Ketika saya tidak berkarya, maka keberadaan saya itu tak lebih dari sekedar ide belaka. Mungkin bagi pembaca, menulis memiliki makna lain, tapi tak mengapa, jika itu terjadi berarti kita sepakat kalau kita tidak sepakat. Meski, jika dilihat dari jumlah jurnal ilmiah yang telah memiliki akreditasi dari LIPI dan akreditasi dari Dikti itu masih relatif kurang. Saat ini (per 6 September 2015), jurnal ilmiah yang mengantongi akreditasi LIPI berjumlah 135 dari berbagai bidang, baik itu Saintek maupun Soshum. Sedangkan yang memiliki akreditasi dari Dikti saja sudah berjumlah hampir dua kali lipatnya, yaitu sebanyak 245.
Sekilas, angka-angka itu terasa besar, namun jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa Indonesia yang sedang aktif saat ini berjumlah 4,390,271 orang (dengan 113,724 orang dari Fakultas MIPA), jumlah keseluruhan jurnal per jumlah mahasiswa bahkan tidak mencapai satu persen pun. Bahkan, jumlah mahasiswa di Indonesia pun belum mencapai target Angka Partisipasi Kasar (APK) pemerintah pada 2014 lalu yang mencanangkan jumlah mahasiswa terhadap populasi usia 19-30 tahun itu 30% atau sekitar 6,2 juta jiwa.
Lantas bagaimana dengan kita? Akankah kita menjadi mahasiswa yang produktif berkarya? Terutama dalam hal menulis? Saya tidak tahu, hanya saja saya berharap semoga Tuhan memberikan karunia dan kesempata bagi kita untuk mampu menjadi mahasiswa yang produktif menulis.
Referensi:
Dikti, n.d., Grafik Jumlah Mahasiswa Aktif Berdasarkan Kelompok Bidang, dilihat 6 September 2015 dari forlap.dikti.go.id
Kompas.com. 26 Maret 2011. Mahasiswa di Indonesia Cuma 4,8 Juta, dilihat 10 September 2015 dari kompas.com
LIPI, n.d, Daftar Jurnal Hasil Akreditasi DIKTI, dilihat 6 September 2015 dari jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php//Daftar-Jurnal-Hasil-Akreditasi-DIKTI/Page-10.html
Ibid, n.d, Daftar Jurnal Ilmiah Akreditasi-LIPI, dilihat 6 September 2015 dari jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Daftar-Jurnal-Ilmiah-Akreditasi-LIPI/Hal-6.html
Semua orang yang mempelajari cabang ilmu Kimia pasti mengetahui kontribusi seorang Amedeo Avogadro. Hipotesis yang ia kemukakan sangat terkenal. Namun, hipotesis tersebut tidak serta-merta menjadi salah satu hukum fundamental dalam Kimia. Bahkan pada masa awal publikasinya, banyak yang tidak mempercayainya karena keadaan di Eropa pada masa itu.
Pada awal abad ke -19, para ahli kimia sepakat tentang apa yang mendasari suatu elemen. Kita mesti berterimakasih pada Lavoisier (yang juga wafat dengan cara yang tragis pada masa Revolusi Prancis). Para ahli kimia mulai memahami bahwa elemen-elemen ini memiliki berat yang konsisten dan menjadi tanda mengundang penyelidikan tentang konsep berat atomik secara lebih jauh.
Perang pada masa Napoleon dan peristiwa-peristiwa semacamnya yang terjadi antar bangsa melemahkan komunikasi para ilmuwan dan komunitas-komunitas ilmuwan. Hal di diperburuk dengan ‘ketidakmauan’ alih-alih keegoisan untuk berbagi info karena mereka menginginkan hak ‘penuh’ atas ide-ide mereka. Bahkan, dua dari tiga pemikir utama pada masa itu, yaitu Dalton dan Gay-Lussac sama sekali tidak antusias terhadap hasil kerja satu sama lain. Mereka tidak melihat bahwa kombinasi antara pengukuran berat dan volume dapat dilakukan. Kehadiran Berzelius pun lebih banyak berkutat dengan pemikirannya sendiri.
Amedeo Avogadro: Sketsa Singkat Perjalanan Hidupnya
Amedeo Avogadro lahir pada 9 Agustus 1776 dalam sebuah keluarga bangsawan di Turin, Italia. Ayahnya adalah Count Filippo Avogadro dan ibunya bernama Anna Maria Vercelli. Berdasar pada kebangsawanannya, nama lengkap Avogadro adalah Lorenzo Romano Amedeo Carlo Avogadro, Conte di Queregna e di Cerreto. Keluarga besarnya merupakan praktisi hukum secara turun-temurun. Ayahnya dikenal sebagai pengacara dan seorang pegawai negeri, melayani negeri sebagai seorang senator dari Piedmont yang pada akhirnya menjadi presiden senat. Dengan latar belakangnya itu, maka Avogadro masuk ke sekolah hukum dan menjadi sarjana hukum pada usia enam belas tahun. Empat tahun kemudian ia menempuh pendidikan doctoral di bidang hukum gereja.
Amedeo Avogadro memiliki kesuksesan karier yang luar biasa di bidang hukum hingga pada tahun 1787 ia mendapat gelar yang sama seperti ayahnya. Kemudian pada 1801 ia ditunjuk sebagai sekretaris prefektur untuk distrik administratif di Eridano, dibawah kekuasaan Perancis. Meski begitu, ia memiliki ketertarikan di bidang filsafat alam dan melatih dirinya sendiri di bidang Fisika dan Matematika.
Pada tahun 1803, ia mulai belajar kelistrikan bersama saudaranya yang waktu itu bekerja sebagai hakim, Felice, yang mungkin terinspirasi dari kompatriotnya, Galvani (1737-1798) dan Volta (1745-1827). Ini menjadikan Amedeo dan Felice sebagai nomine dari Royal Academy of Sciences di Turin. Lalu Amedeo ditunjuk sebagai Demonstrator di Royal College of Turin pada tahun 1806. Tiga tahun kemudian, ia menjadi Professor Filsafat Alam di Royal College of Vercelli dan mengajar Fisika dan Matematika.
Amedeo mempublikasikan hipotesisnya yang kini sangat terkenal itu pada 1811. Tahun 1820, terbentuk bidang Matematika Fisika di University of Turin dengan Amedeo sebagai ketua pertamanya. Ia kehilangan posisi ini pada 1822 karena pergolakan politik yang terjadi saat itu namun berhasil didapatkannya kembali pada 1834 hingga masa pensiunnya.
Pasca publikasi hipotesisnya di tahun 1811, Amedeo pun menulis esai di bidang kepadatan (densitas) gas yang berjudul dalam bahasa Inggris ‘Note on the Relative Masses of Elementary Molecules, or Suggested Densities of Their Gases, and on the Constituents of Some of Their Compounds, As a Follow-up to the Essay on the Same Subject. Pada tahun 1821, ia menulis dua paper lagi, yaitu ‘New Considerations on The Theory of Proportions Determined in Combinations, and on Determination of the Masses of Atoms’ dan ‘Note on the Manner of Finding the Organic Composition by the Ordinary Laws of Determined Proportions,’ dan paper tentang teori kombinasi lainnya pada 1841 yang ditulis dalam empat volume.
Pada tahun 1860, para ilmuwan telah mengerti dengan baik tentang elemen. Teknik yang baik untuk analisis elemen pun telah ditemukan. Sekitar tahun 1855-1859, Stanislav Cannizaro, seorang professor di Genoa yang juga kawan baik Amedeo Avogadro mempelajari hasil kerja Avogadro, yaitu hipotesisnya di tahun 1811.
Pada saat itu Cannizaro sadar dan memahami pentingnya dan sederhananya dari hipotesa yang dilakukan Avogadro saat itu. Hampir setengah abad berlalu dan ide itu tenggelam begitu lama karena pada masa itu (tahun 1811) Dalton dan Berzelius yang notabene merupakan pemikir utama dominan di Eropa saat itu tidak menerima teori yang diajukan oleh Avogadro karena bertentangan dengan teori mereka. Hal ini diperburuk dengan sulitnya interaksi antar ilmuwan dan komunitasnya di luar Italia.
Namun, hipotesa Avogadro ini mulai timbul kembali pada 1860 saat Kongres Kimia Internasional pertama kali digelar di Karlsruhe, Jerman. Cannizaro pada waktu itu bersikeras tentang betapa pentingnya hasil kerja Avogadro dan mendemonstrasikannya untuk menunjukkan kegunaannya dalam mengklarifikasi sifat dari elemen, ikatan, atom, dan molekul, terlebih lagi untuk mendapatkan hasil yang akurat tentnag berat dari atom. Hal ini memuluskan langkah Kekule dalam mengembangkan kimia structural dan formulasi tabel periodic bagi Mendeleev.
Tapi sayangnya, Amedeo tak sempat melihat hipotesanya berubah menjadi suatu hukum. Ia meninggal di Turin pada 9 Juli 1856 dengan meninggalkan seorang istri, Felicita Mazze, dan keenam anak laki-lakinya. Kita patut berterimakasih padanya karena tanpa hasil kerja brilian Avogadro, ilmu kimia belum tentu berkembang sepesat saat ini. Mungkin, sudah menjadi takdir dirinya untuk menjadi pengacara yang tersesat. Setidaknya, Avogadro tersesat di jalan yang tepat.
Referensi:
Murrel, John. n.d. Amedeo and His Constants. sussex.ac.uk, dilihat 31 Agustus 2015 dari sussex.ac.uk/lifesci/chemistry/documents/avogadro.pdf
Nagendrappa, G. 2006. Amedeo Avogadro: Counting Atoms and Moleculesi. umn.edu, dilihat 31 Agustus 2015 dari umn.edu/ships/modules/chem/avogadro.pdf
Novak, Lindsey. n.d. Determining Atomic Wights: The Role of Avogadro’s Hypothesis. famousscientist.org, dilihat 31 Agustus 2015 dari famousscientist.org/amedeo-avogadro/
“What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi).
Begitulah kira-kira kutipan dialog yang mengisahkan drama cinta Romeo dan Juliet karya William Shakespeare. Shakespeare tidak bermaksud menyepelekan arti sebuah nama, maksud Shakespeare pada dialog tersebut akan lebih logis jika ditafsirkan bahwa untuk apa arti sebuah nama (Capulet, nama keluarga Juliet) jika hanya menimbulkan perselisihan antara dua keluarga, bukan malah membawa kebaikan.
Nama Indonesia sendiri, ternyata memiliki sejarah yang cukup panjang. Jika ditengok ke belakang, berawal dari abad ke-19, nama Indonesia tidak terlepas dari anggapan awal bangsa Eropa yang mengira bahwa semua wilayah yang terbentang antara Persia dan Tiongkok disebut Hindia, daerah Asia Selatan disebut Hindia Muka dan Asia Tenggara disebut Hindia Belakang, dan kepulauannya disebut Kepulauan Melayu. Wilayah Kepulauan Melayu ini berganti menjadi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda), dimana dalam hal ini Belanda mengikuti Inggris yang pada masa itu menjajah India dan menamakan wilayah India sebgai British-Indie. Multatuli, atau lebih dikenal sebagai Eduard Douwes Dekker pernah menggunakan nama Insulinde yang dalam bahasa Latin “insula” artinya pulau, yang merujuk pada kepulauan Indonesia.
Pada tahun 1850, George Samuel Windsor Earl, dalam majalah ilmiah tahunan JIAEA volume IV, mengemukakan bahwa masyarakat yang tinggal di Kepulauan Melayu harus memiliki ciri khusus, diantaranya nama khusus yang dapat digunakan untuk merujuk langsung pada orang yang tinggal di Kepulauan Melayu tanpa harus menimbulkan ambigu. Earl pun mengajukan dua nama, yaitu Indunesia atau Malayunesia (“nesos” dalam bahasa Yunani artinya “pulau”). Meski dalam edisi yang sama, James Richardson Logan dalam tulisannya yang berjudul The Ethnology of the Indian Archipelago menganggap bahwa nama “Kepulauan Indonesia” itu terlalu panjang untuk diucapkan, cukup dengan mengucapkan Indonesia saja, meski cakupan wilayah yang dimaksud oleh Logan saat itu adalah dari Sumatra hingga Formosa (Taiwan).
Kata Indonesia ini menjadi terkenal di kalangan akademisi Eropa setelah Adolf Bastian, menulis sebuah buku dengan judul Indonesien oder die Inseln des Malaysichen Archipels. Penggunaan kata Indonesia oleh orang Indonesia sendiri dimulai oleh Ki Hajar Dewantara yang menggunakan nama Indonesisch (kata Indonesia dalam bahasa Belanda) ketika beliau dibuang ke Belanda.
Di Indonesia sendiri, penggunaan kata Indonesia yang merujuk Kepulauan Indonesia mulai umum digunakan sekitar tahun 1920-an. Seperti nama organisasi yang didirikan Dr. Sutomo pada tahun 1924 yang bernama Indonesische Studie Club, Perserikatan Komunis Hindia pun berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia, dan pada 1925 terbentuk organisasi National Indonesische Padvinderij (Natipij). Hingga akhirnya, pada tanggal 28 Oktober 1928, pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia menyatakan nama “Indonesia” sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa. Peristiwa inilah yang kini kita kenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Nama negara, boleh jadi bukan orang Indonesia ‘asli’ yang memberikan, tapi itu tidak seharusnya mengurangi rasa nasionalisme dan kesetiaan kita sebagai warga negara Republik Indonesia.
Cyber-campus. Suatu istilah yang sudah mulai lazim masuk ke gendang telinga mahasiswa di Indonesia. Tentu istilah tersebut didukung dengan kemajuan teknologi era digital seperti saat ini. Secara harfiah, cyber-campus adalah suatu kegiatan pembelajaran kampus yang dilakukan secara online, kegiatan ini pada umumnya dilakukan secara tele-conference. Mahasiswa tidak perlu beranjak dari tempat tinggal, cukup berpakaian sopan dan koneksi internet yang stabil untuk durasi waktu yang cukup lama untuk mengikuti kegiatan perkuliahan.
Seringkali, kegiatan cyber-campus ini dibandingkan dengan kegiatan real campus dimana mahasiswa secara fisik benar-benar harus datang ke ruang kuliah, memindahkan jiwa beserta raganya demi mengikuti perkuliahan. Dua-duanya, menurut saya, ada baiknya juga ada buruknya. Namun saat ini, saya akan membahas secara singkat mengenai cyber-campus saja.
Penggunaan cyber-campus memang menyimpan manfaat yang tidak bisa dibilang kecil. Kegiatan perkuliahan dapat berlangsung lebih efisien, baik dari segi waktu, tenaga, dan materi. Masalahnya, sistem cyber-campus pun bukan merupakan sistem yang purna. Selalu saja ada celah dari setiap sistem IT. Masih tersisa kemungkinan kejahatan yang umum disebut cyber-crime, baik itu hacking atau phising. Dari yang berniat sekadar iseng maupun yang memiliki motivasi untuk melakukan tindakan kriminal.
Pun, proyek cyber-campus ini tidak dapat begitu saja direalisasikan. Selain jaringan Internet yang luas, dibutuhkan juga pemahaman dari pengguna serta spesifisikasi perangkat lunak dan perangkat keras yang cukup. UGM merupakan universitas yang mahasiswanya berasal dari seluruh penjuru negeri, bahkan mancanegara. Maka, pihak kampus perlu untuk memberikan edukasi bagi mahasiswa yang belum memahami cara pemanfaatan cyber-campus ini, karena tanpanya, apalah arti sains dan teknologi jika tak memiliki manfaat sedikitpun bagi kehidupan manusia.