Tabik.
Perih masih terasa di mata,
dan pening masih lekat di kepala
Sisa semalaman terjaga
Kala langkah menjejak lantai dingin,
stasiun, pelabuhan, atau bandara
Ada jarak yang membuat peluk,
menjadi hal yang pelik
Ada khawatir dalam diri,
manakala ragam pertanyaan ‘kapan’ terus menghantui
Ada perdebatan yang tak kunjung usai,
tentang apa yang harus didahulukan
Sesaat berkelebat kilasan jiwa-jiwa baik,
yang pernah tersakiti
Pemberani, adalah mereka yang sanggup mengakui
Namun ksatria, adalah mereka yang mampu memaafkan dengan rela
Ada harapan yang bersiuran,
takdir yang bersimpangan,
permohonan yang harus disampaikan,
Dan doa yang mesti dipanjatkan.
Ketika roda baja mulai bergulir,
dan peluit kereta berbunyi nyaring
Yogyakarta, 28 Ramadhan 1439 H
Eid Mubarak.
#KeretaNomor179
Nb: dua larik terakhir terinspirasi dari judul buku kumcer (Traffic Blues: Saat Hujan Deras & Jalanan Mulai Tergenang) yang ditulis seorang kenalan, Zen Rs (editor at large di http://tirto.id).
Perjalanan Itu Bernama Mudik
Baik, halo kawan, bagaimana kabarnya? Saya harap kawan senantiasa baik-baik saja, sehat secara jasmani, rohani, dan tentu finansial (hehehe). Lain dari perjalanan mudik saya di tahun-tahun sebelumnya, Lebaran 1439 H ini saya pulang ke rumah dengan jadwal sangat-sangat mepet. Well, H-3 saya masih diajak begadang di Maskam oleh seorang teman dan baru H-2 saya berangkat pulang. Itu pun hanya transit saja di rumah kakak sulung saya di Tasikmalaya.
Ada yang unik ketika perjalanan pulang dengan kereta saat itu. Saat adzan Maghrib akan berkumandang, para petugas dari manajemen kereta api membagikan ransum makanan berat pada penumpang. Gratis. Jelas ini hal yang baru. Beberapa penumpang (termasuk saya) kebingungan menerima kotak makan ini.
Bukannya kami tidak senang, namun tidak biasanya manajemen kereta api melakukan hal seperti ini karena tahun-tahun sebelumnya jelas tidak ada yang seperti ini. Semenjak menempuh studi di Jogja, ketika lebaran akan tiba, saya pasti pulang pakai kereta dan saya selalu membawa bekal sendiri untuk berbuka. Jadi, hal ini adalah sebuah keanehan tersendiri bagi saya. Well, apapun niatan dari manajemen dan BUMN secara umum, saya mengucapkan terima kasih. Sering-sering saja seperti ini, hehehe.
H-1 lebaran (malam takbir) saya baru melanjutkan perjalanan ke rumah saya di Sukabumi. Sungguh pun dalam hati saya agak ketar-ketir karena takut macet di jalanan. Namun, karena sesungguhnya saya melawan arus mudik pada umumnya, sehingga perjalanan menjadi lancar-lancar saja. Satu lagi yang membuat saya agak khawatir karena dari empat bersaudara, yang bertugas membuat ulén (uli ketan) yang berwarna putih itu tak lain tak bukan adalah si ragil (baca: saya). Dan biasanya ibu saya membuatnya setiap malam takbir sehingga nantinya dapat dibawa oleh saudara-saudara saya ketika mereka pulang, atau sekadar penganan hantaran untuk saudara atau tetangga ketika bersilaturahmi (di kampung saya tradisi bertukar rantang masih ada). Bagaimana jadinya jika si tukang tumbuk tidak datang? Hehehehe.
Membuat uli ketan itu sebenarnya sederhana. Beras ketan putih yang telah direndam selama beberapa jam ditanak seperti memasak nasi biasa, namun nanti dicampurkan dengan sedikit kelapa parut dan garam. Bahannya cukup itu saja. Hal yang cukup menyulitkan adalah pembuatannya karena nasi ketan harus ditumbuk. Uli ketan yang baik adalah uli ketan yang dibuat sehalus mungkin. Sehingga, untuk memudahkan penumbukan, maka nasi ketan harus ditumbuk ketika masih panas mengepulkan uap air.
Untungnya, ibu saya hanya membuat uli ketan, bukan opak ketan. Proses membuat opak ketan lebih sulit karena ada satu langkah tambahan setelah nasi ketan dihaluskan. Uli ketan masih harus dibentuk menjadi opak dan dibakar dengan arang. Dan semua itu dilakukan dengan keadaan uli ketan masih panas agar mudah dibentuk. Lebih ribet kan?
Well, dalam proses penumbukan, sebenarnya hanya soal kecepatan, momentum, dan gravitasi saja sih. Ketika kita dapat memposisikan diri dengan baik, maka kegiatan membuat uli ketan bisa jadi latihan mengolah otot lengan yang baik. Percayalah.
HAK untuk Marah
Marah.
Well, saya bukan orang dengan latar belakang pendidikan di bidang psikologi, jadi apa yang saya sampaikan pada kawan berasal dari pandangan orang awam saja. Ok?
Bagi saya, segala macam bentuk emosi yang kita miliki pada dasarnya tidak bisa dianggap sebagai kelemahan. Termasuk keinginan untuk menangis misalnya (bahkan untuk laki-laki). Juga rasa amarah. Hanya saja, memang bagi mereka yang mampu mengendalikannya, mampu menyampaikan jenis emosi pada tempat dan waktu yang tepat sajalah yang sulit. Menurut saya, keinginan menangis itu adalah ketika kondisi tubuh (terutama secara psikis) merasa lelah dan sangat tertekan atau ketika terharu oleh sesuatu. Dan itu wajar terjadi pada manusia.
Amarah, jika dikendalikan dan dapat disampaikan dengan baik, bisa jadi hal yang positif. Dan mengapa saya membicarakan hal ini pada kawan? Karena beberapa hari setelah lebaran, saya berkesempatan membaca buku yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma (SGA) yang berjudul Drupadi.
Lebaran, memang seringkali dimaknai sebagai waktu untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Namun, saya kira penting juga untuk memaknai alasan mengapa kita harus bermaaf-maafan. Salah satu penyebabnya adalah kemarahan. Saya ingat beberapa kali saya sempat kena marah di tahun ini. Tidak sering, tapi jelas pernah. Terlepas dari kondisi saya saat itu, saya agak kesal sebenarnya karena kena marah (siapa yang tidak). Namun, setelah saya pikir lebih jauh, saya cukup beruntung pernah melihat ekspresi marah beberapa orang yang saya kenal. Membuat saya sadar bahwa mereka adalah manusia juga. Punya rasa juga. Dan oleh karena itu, apalagi alasan saya untuk tidak memohon maaf (dan juga memaafkan orang lain)? We are all have emotions. And that’s not bad. It means that we have something in common. So, we could easier in order to understanding others.
Saya lupa kapan tepatnya kakak sulung saya menuliskan kata-kata ini, namun berikut kutipan lengkapnya:
Ada saat-saat dimana memaafkan tak semudah kelihatannya. Ada masa dimana permaafan tak mengatasi rasa bersalah, atau menyelesaikan masalah. Namun, saling memaafkan menjadi hakikat manusia mencapai kemanusiaan karena kekhilafan adalan keniscayaan. – Seni Apriliya
Izinkan saya untuk mencantumkan juga beberapa kutipan yang saya suka dari buku karya SGA:
Jika kawan suka, saya kira, buku karya SGA ini sudah banyak beredar di berbagai toko buku. Silakan mencari kutipan yang kawan suka dengan membaca sendiri bukunya. 🙂
*Saya suka kisah-kisah pewayangan. Mulai dari cerita wayang dari radio maupun komik lawas karya R.A. Kosasih.
Mancing ala Bocah
Beberapa hari setelah hari raya Idul Fitri, saya diajak memancing oleh keponakan saya. Awalnya saya menolak karena cuaca panas dan hari yang cerah bukanlah saat yang terlalu tepat untuk memancing. Tetapi akhirnya saya mengalah juga karena tidak tega pada dua keponakan yang masih bocah.
Akhirnya, pergilah kami ke daerah Batu Karut, sekitar 30 menit perjalanan menggunakan sepeda motor dari rumah kami. Sesungguhnya, jarak dari rumah ke Batu Karut relatif dekat. Namun, trek ruas jalan yang menanjak tajam dan terjal dapat menjadi tantangan tersendiri bagi rider.
Tempat kami memancing sebenarnya merupakan danau milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Lokasi tersebut aslinya adalah tempat penampungan curah hujan yang dimanfaatkan untuk sistem air minum di daerah Kota Sukabumi dan sebagian wilayah Kabupaten Sukabumi. Sekalipun cuaca tidak kondusif untuk memancing, tapi sangat cocok apabila hanya ingin merasakan angin sejuk dari pegunungan sambil makan bersama keluarga. Bagian utara danau terdapat semacam saluran air yang cukup lebar-sekitar 2 meter. Mata air berasal dari pegunungan setempat dan sangat jernih airnya.
Setelah beberapa lama menunggu ikan yang kian tidak muncul. Akhirnya saya memutuskan untuk merendam kaki dan menyuruh keponakan saya untuk berenang saja di saluran air tersebut. Bebatuan yang terdapat di saluran air tersebut beraneka warna, dapat mengindikasikan komposisi, asal sedimen, dan umur yang berbeda-beda. Beberapa berwarna merah gelap dan oranye, selain hitam atau abu-abu.
Saya berniat membawa bebatuan itu untuk dianalisis lebih lanjut ketika saya kembali ke Jogjakarta. Namun, saya ingat, tujuan saya ke sana adalah untuk memancing dan bersantai. Kapan-kapan saja saya kembali ke sana.
Well, untuk kali ini saya cukupkan sekian dahulu, nantikan kisah saya ketika melakukan perjalanan ke Taman Bumi Ciletuh.
All photos were taken by a smartphone camera. Please do not expect a high resolution of these photos. Comments or critics are welcome.
Tabik.