Tabik.
Kawan, kisah saya kali ini adalah mengenai perjalanan saya mengunjungi situs Candi Borobudur pada 28 Desember 2016 lalu. Setelah mengendarai si kuda besi selama sekitar 1 jam lebih (termasuk macet), saya dan beberapa teman dari beragam jurusan tiba di Balai Konservasi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Saya diajak ke sana oleh pegiat budaya Samantha Aditya dan Erwin Djunaedi. Keduanya saya kenal baik semenjak saya mulai belajar di UGM. Namun, rombongan kami sebenarnya terdiri dari delapan orang (termasuk saya, Mbak Sam, dan Mas Erwin) yang terbagi dalam empat sepeda motor.
Nah, setelah kami memarkirkan motor, lantas kami langsung menuju situs Candi Borobudur. Cuaca cukup cerah dan suhu cukup panas saat itu, wajar saja karena sudah dekat waktu tengah hari. Padatnya pengunjung semakin menambah kelembapan udara.
Borobudur: Nama dan Struktur
Sebenarnya, yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah melakukan educated guess alih-alih hipotesis mengenai asal mula nama Borobudur. Namun, saya cenderung setuju dengan pendapat dari De Casparis, seorang ahli purbakala berkebangsaan Belanda, yang berpendapat bahwa nama Borobudur berasal dari kata bhumisambharabudhara. Kata ini memiliki arti ‘Bukit Tumpukan Kebajikan pada (kesepuluh) Tingkatan-tingkatan (ke-Bodhisattwa-an)’. Kata ini lambat laun juga karena faktor kepraktisan penyebutan berubah menjadi kata ‘borobudur’. Saya kira, sepuluh tingkat candi ini menggambarkan sepuluh parami dalam ajaran Buddha. Apabila kawan ingin mengetahui lebih lanjut mengenai hal ini, saya sarankan untuk membaca buku Borobudur: Warisan Umat Manusia yang ditulis oleh Daoed Joesoef. Nagaoka (2016) pun menyebutkan bahwa penampakan dari struktur unik Candi Borobudur ini berakar pada penghormatan pada leluhur, pegunungan yang bertingkat-tingkat, dikombinasikan dengan konsep pencapaian Nirwana.
Kamadhatu
Candi Borobudur secara umum terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Kamadhatu, Arupadhatu, dan Rupadhatu. Masing-masing memiliki makna tersendiri namun tetap saling berkaitan satu sama lain. Adapun kamadhatu mencerminkan tahapan makhluk yang masih memiliki nafsu (kama) yang menggebu. Bagian ini meliputi kaki candi yang berhiaskan relief tentang karmawibhangga.
Kaki Candi Borobudur yang kita lihat saat ini bukanlah kaki candi yang sebenarnya. Bagian kaki ditutupi lagi dengan batu-batu untuk menjaga agar bangunan candi tidak runtuh. Sebagian batu penutup disingkirkan untuk memperlihatkan bahwa pada bagian kaki juga terdapat relief.
Kaki candi yang asli berukirkan relief yang mengisahkan tentang karmawibhangga, yaitu mengenai sebab-akibat (hukum kausalitas) (Fontein, 2015). Salah satu ajaran Buddha adalah mengenai reinkarnasi. Hal ini berhubungan dengan karmawibhangga. Maksudnya, apabila di kehidupan sebelumnya, katakanlah kita sering menghina orang lain, berkata buruk mengenai orang lain, maka di kehidupan kita selanjutnya maka wajah kita akan menjadi jelek. Pada beberapa pigura relief di karmawibhangga kita dapat menemukan beberapa huruf Jawa. Hal ini menunjukkan bagi para pemahat, sebab-akibat apa yang dikisahkan pada suatu bagian.
Rupadhatu
Kami naik ke tingkat Rupadhatu melalui pintu barat, dari bawah kami dapat melihat langkan-langkan yang berisi patung Buddha dengan posisi Amitabha. Rupadhatu menggambarkan bagian bahwa makhluk sudah mampu menanggalkan nafsunya, namun masih terbelenggu nama dan wujud. Tangga yang digunakan memiliki railhand yang menggambarkan lidah Makara, makhluk mitologi ini berbentuk ikan berkepala gajah, meskipun tidak semua tangga terdapat railhand berbentuk lidah ini. Beberapa tangga dilengkapi railhand dari aluminium dan anak tangganya dilapisi material semacam karet tertentu untuk melindungi permukaan batu dibawahnya. Lalu terdapat saluran air yang disebut jaladwara. Saluran air ini juga dihiasi pahatan makhluk mitologi, meskipun beberapa jaladwara ada yang hilang hiasannya itu. Mulut makhluk mitologi inilah yang digambarkan sebagai saluran air. Hal ini mirip seperti mulut gargoyle di banyak bangunan di Eropa.
Arsitektur Candi Borobudur berbeda dari rupa Candi Mendut atau Candi Pawon. Tidak ada ruang tertutup atau bilik tersendiri untuk bersemedi. Saat itu saya melihat dua orang sedang berkeliling sambil merapal sesuatu. Saya mengira mereka sedang berdoa. Namun, ketika saya menanyakan hal ini pada salah satu kawan baik saya yang menganut Buddha, ia menjelaskan bahwa kegiatan itu seperti meditasi berjalan. Kemudian saya mengerti bahwa berjalan di lorong-lorong candi lalu naik setingkat demi setingkat itu disebut pradaksina.
Dinding-dinding dalam di bagian Rupadhatu menceritakan keriuhan di surga menyambut kelahiran Siddharta hingga perjalanannya hingga menjadi Bodhisattwa. Kisah-kisah ini diambil dari kitab Gandawyuha. Cara membaca relief di bagian lorong dalam adalah dari kanan ke kiri. Sedangkan kisah-kisah yang dipahat di bagian dinding langkan dibaca dari kiri ke kanan. Kisah-kisah ini bercerita tentang kehidupan yang dialami Siddharta sebelum dilahirkan dalam bentuk manusia yang diambil dari kitab Jataka dan Awadana. Idealnya, apabila hendak melakukan pradaksina, diawali dari pintu di sebelah timur, lalu terus berkeliling lalu naik setiap tingkat di pintu timur juga.
Saya melihat terdapat relief yang menggambarkan kelahiran Siddharta ke dunia. Mas Erwin bercerita bahwa tujuh langkah pertama setelah Siddharta lahir, tumbuh kelopak bunga teratai. Saya kira, elemen bunga teratai atau lotus sangat kuat dalam ajaran Buddha karena penggambaran kelopak lotus juga muncul sebagai dudukan stupa di tingkat Arupadhatu.
Mbak Sam menceritakan salah satu relief yang masih utuh dan terlihat jelas. Well, yang akan saya sampaikan ini tidak persis kata-kata Mbak Sam, hanya saja, intinya seperti itu. Relief itu mengisahkan penjelmaan Siddharta menjadi kerbau yang memiliki sifat sangat sabar. Kerbau jelmaan Siddharta ini berkawan baik dengan seekor monyet yang usil.
Monyet tidak jahat tapi nakal. Kadang ia menarik-narik tanduk kerbau, kadang ia menusuk-nusuk hidung kerbau dengan ranting. Nah, suatu ketika, keduanya bertemu dengan raksasa. Raksasa itu bertanya pada kerbau, kenapa kerbau diam saja padahal ditusuk-tusuk ranting di hidung itu sakit?
Kerbau menjelaskan bahwa ia diam bukan karena tidak merasa sakit atau tidak mengerti apa yang dilakukan monyet. Kerbau merasa bahwa monyet adalah temannya dan selama hal itu membuat temannya (yaitu monyet) senang, maka kerbau ikut bahagia. Lalu, kerbau tahu dan mengerti bahwa monyet itu usil dan perbuatan yang dilakukan monyet itu kurang baik, namun kerbau yakin bahwa suatu saat monyet akan sadar bahwa perilakunya itu tidak baik. Akhirnya raksasa terkesan dengan penuturan kerbau dan berguru kepadanya.
Selain itu, ada relief di bagian dinding langkan yang utuh. Kali ini menceritakan ketika wujud Siddharta berbentuk penyu di lautan. Nah, dikisahkan ada sekelompok saudagar yang sedang naik kapal. Tiba-tiba badai datang, ombak bergulung mengombang-ambingkan kapal yang mereka tumpangi. Lalu datanglah penyu jelmaan Siddharta membantu mereka. Mencegah mereka dari tenggelam. Namun, setelah ditolong, mereka kelaparan yang berakhir dengan pertikaian. Penyu pun akhirnya merelakan dirinya sendiri untuk dimakan para penumpang kapal. Hal ini membuat mereka sadar bahwa yang mereka lakukan (bertengkar) itu tidak baik.
Saya agak lupa di tingkat berapa relief ini berada, namun terdapat relief yang menggambarkan Siddharta sedang memegang busur dan panah. Apabila menurut keterangan Daoed Joesoef, relief tersebut menggambarkan saat Siddharta menerima tantangan dari saudaranya yang bernama Dewadatta, sebagai salah satu persyaratan untuk meminang Gopa, seorang putri dari kalangan bangsawan.
Bagian lain dari relief juga ada deskripsi makhluk menyerupai setengah manusia setengah burung. Gambar relief ini mengingatkan saya akan sosok centaur, makhluk mitologi setengah manusia setengah kuda yang pertama kali saya tahu dari buku-buku karangan C.S. Lewis. Nah, makhluk setengah manusia setengah burung ini ternyata adalah para kinnari (putri dari bangsa Kinnara). Joesoef mengatakan dalam bukunya bahwa salah satu dari putri itu adalah Manohara, istri dari Pangeran Sudhanakumara dari Kerajaan Pancala Utara. Saya kira, nama hotel Manohara yang juga berlokasi di dekat Balai Konservasi Borobudur asal mulanya dari kisah ini.
Relief-relief di bagian dalam lorong Rupadhatu berwarna agak oranye. Mas Erwin berkata bahwa pada saat zaman kolonial, dinding relief dilapisi oleh sejenis bahan tertentu agar saat difoto, hasilnya terlihat bagus. Namun, kini malah berakibat korosi bagi relief. Sebenarnya ada cara untuk melapisi relief dengan semacam pelitur. Dahulu , pelitur tersebut dinamai vajraleppa dengan alasan karena saat candi tertimpa sinar matahari, ia menjadi indah berkilauan. Hingga kini belum diketahui apa saja komposisinya.
Arupadhatu
Kami tidak terlalu lama berkeliling, hawa panas dan banyaknya pengunjung membuat kami segera beranjak ke bagian Arupadhatu. Bagian ini menggambarkan tingkat dimana nama dan wujud sudah tanggal. Namun, apabila diperhatikan lebih jauh, bentuk lubang dari stupa di Arupadhatu tidak seragam seluruhnya. Ada yang berbentuk belah ketupat dan ada yang berbentuk persegi. Bentuk belah ketupat muncul lebih dahulu. Hal ini memiliki makna bahwa sekalipun sudah terlepas dari nama dan wujud, rintangan masih menghadang. Bentuk belah ketupat masih bisa goyah. Ia lebih sulit untuk tetap stabil. Sedangkan bentuk lubang selanjutnya, yaitu yang berbentuk persegi, ia melambangkan kemantapan hati dan kemampuan untuk menghadapi ujian. Saya sendiri yang berasal dari etnis Sunda, memahaminya sebagai filosofi masagi, merupakan usaha kita mencapai keseimbangan antara hal yang lahiriah dan batiniah, memunculkan harmoni dalam hidup.
Sebelah timur laut, kita dapat menemui stupa yang hanya tertutup setengahnya, memperlihatkan arca didalamnya. Nah, arca yang ini dapat digunakan sebagai penanda waktu terbitnya matahari. Jika kawan beruntung, mungkin kawan bisa memperoleh fenomena matahari terbit yang muncul tepat ditengah-tengah antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi.
Saya sungguh bersimpati pada petugas keamanan yang berusaha menegur pengunjung untuk tidak duduk di sisi-sisi stupa -termasuk di sisi stupa utama- namun tidak diacuhkan. Saat kami akan turun melalui pintu utara, Mas Erwin yang berjalan di depan saya mengingatkan seseorang yang duduk di salah satu stupa untuk berdiri. Namun, yang diingatkan malah ngeyel, lucunya, belum beberapa langkah kami berjalan, petugas dengan toanya dengan jelas menegur orang tersebut. Mas Erwin pun berkata pada saya, “Tuh kan, dibilangin juga apa. Karma itu ada.” Saya tertawa kecil mendengar hal itu.
Nah, ketika kami tiba di bagian Rupadhatu bagian utara, kami melihat hal ini.
Dann inilah orang-orang yang menjadi tour guide dadakan kala itu:
Lebih jauh mengenai Borobudur
Candi Borobudur yang dibangun sekitar abad ke-7 atau 8 ini bercorak Buddha, dibangun oleh wangsa Sailendra. Borobudur dibangun seperti puzzle. Pemasangan tiap batuannya sengaja tidak terlalu padat, menyisakan sedikit ruang untuk mengantisipasi adanya guncangan. Pada prosesnya, para pendeta selalu bersemedi terlebih dahulu untuk penentuan lokasi pembangunan candi yang baik. Selalu. Tanda tanah bagus untuk dibangun candi adalah saat disiram air, air tidak menyerap, tapi menggenang, menandakan kondisi tanah yang padat.
Patung-patung Buddha yang terdapat di candi dipahat dari batu utuh. Hal ini membuat bagian leher patung menjadi bagian paling rentan karena memang tidak disambung besi atau apapun. Sehingga, pada saat dulu mengalami keruntuhan, banyak kepala dari patung-patung itu terpisah dari bagian tubuhnya.
Kepala-kepala patung ini sering dijadikan cenderamata bagi pengunjung/tamu mancanegara zaman kolonial (Hindia Belanda) dulu. Balai Konservasi Borobudur telah mengoleksi banyak kepala patung yang terpisah dari tubuhnya. Namun usaha pengembalian kepala patung kepada tubuh yang tepat cukup sulit dilakukan karena patung Buddha yang terdapat pada Candi Borobudur dipahat oleh orang yang berbeda-beda. Gestur dan raut wajah Buddha yang digambarkan pun berlainan. Adapun beberapa kepala yang telah berhasil dikenali dan diyakini berasal dari patung tertentu, disambung kembali dengan suatu sambungan batang besi dan dikuatkan dengan lem khusus.
Pasca pemugaran masif yang selesai pada tahun 1983, kini terdapat suatu alas di setiap tingkatan untuk meminimalisir rembesan air secara langsung pada batuan. Adapun pemeliharaan candi kini dilakukan secara periodik. Secara umum, pemeliharaan dilakukan dengan dua cara, yaitu kering dan basah. Cara kering yaitu dengan disikat secara hati-hati dengan sikat halus. Cara basah dengan disemprot air bertekanan tinggi.
Terdapat beberapa saran yang akan saya sampaikan apabila kawan berkunjung ke Candi Borobudur, yaitu:
- Tidak disarankan untuk mengenakan high-heels sebagai alas kaki. Alasan:
- Membuat tungkai kawan rentan terkilir. Beberapa tangga di Candi Borobudur itu cukup tinggi. Yah, kecuali kawan hanya berjalan di kompleks candi saja sepertinya tidak mengapa. Tak perlulah naik ke atas.
- Merusak permukaan batu yang terdapat di candi. Sudah cukuplah ia menahan beban dari bobot kita. Ingat pelajaran ilmu alam dulu, tekanan itu berbanding terbalik dengan luas permukaan. Semakin kecil suatu permukaan benda, dengan gaya yang sama besar, tekanannya akan lebih besar dibanding dengan permukaan yang besar.
- Tidak membuang air liur di areal candi.
2. Beberapa orang memang memiliki kadar saliva berlebih dibanding yang lain. Namun, saya kira, dalam budaya kita, tetap saja meludah di tempat publik itu tidak sopan. Air liur manusia mengandung enzim-enzim yang digunakan untuk mencerna makanan. Dikhawatirkan saat saliva menempel di permukaan bebatuan akan menimbulkan korosi yang kronis.
3. Tidak menyentuh relief. Naik ke atas candi cukup melelahkan, setidaknya membuat tubuh kita mengeluarkan keringat. Ketika kita menyentuh relief dengan tangan yang lembap penuh keringat dan bakteri, ia akan menempel ke batuan dan menimbulkan korosi.
Tulisan ini adalah hasil dari pengamatan saya selama sekitar dua jam lebih, berikut penuturan yang disampaikan Mas Erwin dan Mbak Sam, keterangan yang saya baca dari beberapa buku mengenai Candi Borobudur, juga penjelasan kawan saya. Tentu masih banyak kekurangan disana-sini, saya harap saya akan mengunjungi situs Candi Borobudur lagi di lain kesempatan. Candi Borobudur mengguratkan kisah perjalanan yang tersimpan kebajikan didalamnya.
Seperti yang sudah-sudah, saya ingin menekankan bahwa saya tidak memaksa kawan untuk sepakat dengan apa yang saya tuliskan. Apabila memang ada yang merasa keberatan, mari kita diskusikan bersama. Saya yakin bahwa ada hal-hal yang memang tidak bisa dikompromikan, tapi saya percaya bahwa semua hal dapat dibicarakan baik-baik.
Tabik.
Berikut beberapa foto lain:
*Terima kasih kepada Mbak Sam dan Mas Erwin yang telah mengajak saya mengunjungi situs dan menjadi tour-guide tidak resmi.
Dokumentasi: Sumber gambar adalah hasil jepretan Mas Erwin, Mbak Dyah, dan saya sendiri.
Ditulis oleh Viny Alfiyah, mahasiswa Kimia 2015, masih senang ngopi dan makan nasi, jadi tentu penulis masih ada kemungkinan untuk melakukan kesalahan dalam penulisan artikel ini, maka penulis akan sangat menghargainya jika kawan mau berdiskusi dengan penulis agar penulis dapat menjadi pribadi dan manusia yang lebih baik lagi.